Pertumbuhan penduduk
yang tinggi memang menyebabkan bertambahnya kompleksitas permasalahan
lingkungan hidup di muka bumi ini. Perilaku konsumsi, pola produksi, dan
distribusi sumber daya alam antar negara selalu berubah, sedangkan kualitas dan
kuantitas lingkungan sebagai penyangga kehidupan manusia juga cenderung
menurun. Secara teknis, masalah lingkungan yang rusial bagi kehidupan
manusia adalah hal-hal yang terkait konsumsi. Menurut beberapa pakar, jika
semua manusia mulai mengkonsumsi dengan jumlah yang sama, kita akan membutuhkan
sumber daya minimal empat bumi dalam setahun. Konsumsi dapat ditangani dengan
cara yang sangat efektif. Indonesia mengalami persoalan-persoalan terkait
dengan konsumsi bahkan persoalan tersebut seringkali dikaitkan dengan isu-isu
perubahan penduduk. Kesadaran ini perlu tersebar terutama di negara
berkembang. Pola konsumsi perlu dipantau dan diatur di semua negaradi seluruh
dunia.
Konsumsi merupakan
pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Konsumsi merupakan
tujuan yang penting dari produksi tetapi yang tujuan yang utama adalah konsumsi
untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Islam adalah agama komprehensif dan
mencakup seluruh aspek kehidupan, yang mengatur segala tingkah laku manusia,
bahkan tidak ada satu sietem kemasyarakatan, baik modern atau lama, yang
menetapkan etika untuk manusia dan megatur segala aspek kehidupan manusia
sampai pada persoalan yang detail selain Islam, termasuk dalam hal konsumsi.
Bahkan konsumsi merupakan seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di
dunia ini agar dapat menjalakankan perannnya sebagai khalifah di bumi. Sehingga
segala hal yang kita lakukan di dunia ini tidak terlepas dari norma-norma dan
ajaran Islam sehingga dalam hal konsumsi pun kita harus mengikuti kaidah-kaidah
Islam.
Perilaku konsumsi Islam berdasarkan tuntunan
Al-Qur’an dan Hadis perlu didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan yang
mengintegrasikan keyakinan kepada kebenaran yang ‘melampaui’ rasionalitas
manusia yang sangat terbatas ini. Bekerjanya Invisible Hand yang
didasari oleh asumsi rasionalitas yang bebas nilai–tidak memadai untuk mencapai
tujuan ekonomi Islam yakni terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang dalam
suatu masyarakat.
Islam memberikan konsep adanya an-nafs
al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang ini tentu saja
tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan.
Disinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain yang
dalam bahasa Al-Qur’an dikatakan ‘al-itsar’. Berbeda dengan konsumen
konvensional. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya memiliki 2 sisi,
yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan yang kedua
untuk dibelanjakan di jalan Allah.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan
dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena
keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian
manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik
dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Batasan konsumsi dalam islam tidak hanya
memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan
adalah yang baik, cocok, bersih, tidak menjijikan. Begitu pula batasan konsumsi
dalam syari’ah tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja. Tetapi juga
mencakup jenis-jenis komoditi lainya. Pelarangan atau pengharaman konsumsi
untuk suatu komoditi bukan tanpa sebab. Pengharaman untuk komoditi karena
zatnya karena antara lain memiliki kaitan langsung dalam membahayakan moral dan
spiritual. Larangan israf dan larangan bermewah-mewahan. kemewahan adalah
berlebih-lebihan dalam kesenangan pribadi atau dalam pengeluaran belanja nuntuk
memenuhi sejumlah keinginan yang tidak terlalu penting. Al-Qur’an gencar
mengumumkan kecaman pada kemewahan dan orang yang bermewah-mewahan. Kemewahan
yang dimaksud adalah tenggelam dalam kenikmatan dan hidup berlebih-lebihan
dengan berbagai arena yang serba menyenangkan. Dalam pembelanjaan harta yang
banyak ada ada tiga kriteria yaitu : Pertama, membelanjakannya dalam
aspek-aspek yang tercela menurut syariat, maka tidak ada keraguan tentang
pelarangannya. Kedua, membelanjakannnnya dalam aspek-aspek yang terpuji menurut
syariat sehingga tidak ada keraguan tentang diperintahkannya dengan syarat
tidak melenyapkan hak ukhrawi lain yang lebih penting. Ketiga, membelanjakannya
dalam hal mubah (halal) pada prinsipnya, seperti kesenangan jiwa. Kekikiran mengandung
dua arti, pertama, jika seseorang tidak mengeluarkan hartanya untuk diri dan
keluarganya sesuai dengan kemampuannya. Kedua, jika sesorang tidak
membelanjakan suatu apapun untuk tujuan-tujuan yang baik dan amal. Kekikiran
adalah hal yang sangat berbeda dengan pemborosan dan kemewahan. Tetapi sifat
ini juga termasuk tercela di dalam Islam. Karena seseorang tidak menggunakan
rezeki dan nikmat yang diberikan Allah kepadanya untuk di konsumsi atau
digunakan sesuai dengan kadarnya, kebutuhannya dan tanggungannya. Serta akan
mendorong seseorang untuk berlaku bakhil dan takut miskin sehingga akan
membuatnya tidak mau mengeluarkan shodaqah.
Perilaku konsumsi Islam harus hidup hemat dan
sederhana. Menjalani hidup sederhana merupakan salah satu pendidikan sosial di
dalam masyarakat sebagai upaya untuk upaya untuk menghilangkan kesenjangan
sosial antara orang-orang kaya dan miskin. Apalagi jumlah orang miskin di
Indonesia tergolong tinggi. Kehidupan yang sederhana ini juga dapat
meminimalisasi sikap kemewahan bagi orang-orang kaya. Sikap orang-orang kaya
yang secara tidak disadari telsh melipatgandakan kepedihan kaum papa di
masyarakat dengan berbuat berlebih-lebihan dalam menikmati kesenangan hidup.
Tidak akan kekurangan orang yang berlaku hemat. Maksudnya tidak akan jatuh
miskin orang yang membelanjakan hartanya dengan hemat dan tidak boros
sebagaimana hal itu juga berlaku bagi individu dan komunitas umat. Inilah
solusi dari Islam tentang gaya hidup yang seharusnya bagi seorang muslim
diantara boros, mewah, dan kikir. Seperti dalam firman-Nya,“Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak berlebih-lebihan dan tidak pula
kikir dan jagalah keseimbangan di tengah-tengah antara keduanya”.
Dalam Islam, asumsi dan aksioma yang sama
(komplementer, substitusi, tidak ada keterikatan), akan tetapi titik tekannya
terletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi
sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan A dan B maka seorang muslim
(orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai
tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang
lainnya secara fisik lebih disukai.
Comments
Post a Comment