A. Latar Belakang
Keterbukaan
informasi pada masyarakat (public) di era globalisasi menjadi sangat penting
peranannya bagi setiap orang, bahkan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi
pengembangan lingkungan sosialnya. Informasi juga menjadi aspek penting dalam
ketahanan negara karena merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional.
Menurut UNDP dikutip sebagaimana Naihasy (2006:50) bahwa salah satu
karakteristik good governance dalam mewujudkan reformasi birokrasi di
Indonesia adalah transparansi, yakni keterbukaan yang dibangun atas dasar
kebebasan arus informasi.
Selain
itu juga peningkatan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan
publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas, sehingga
mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Hal
ini juga dapat mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik (good governance)
yaitu transparan, efektif, dan efisien serta akuntabel. Bentuk transparansi
yang sangat beresiko dan menimbulkan masalah jika tidak dipublikasi adalah
transparansi tentang anggaran.
Keterbukaan
anggaran meliputi terbukanya akses informasi sumber keuangan dan jumlahnya,
rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga memudahkan
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Bukan hanya untuk pihak
yang berkepentingan, namun masyarakat awam juga dapat mengetahui dan
mengaksesnya.
Dalam
masyarakat di mana orang-orang akan merespon dan menindaklanjuti hak-hak mereka
dari tindakan, keputusan, dan tindakan pejabat dari masyarakat dan dalam waktu
tidak ada yang tersembunyi dari orang-orang mereka mempengaruhi. Karena
pejabat berusaha untuk menjawab dan dengan demikian, sistem dan
proses terjadi, seperti akuntan publik baru di Amerika untuk mempromosikan
peran akuntabilitas pemerintah telah terjadi perubahan yang signifikan.
Akuntabilitas dan transparansi adalah satu, yaitu jika kerusakan di respon
tidak diperlukan untuk membuktikan apa yang Anda cari. Pejabat dengan
transparansi dan membuat kasus bahwa orang memiliki akses ke informasi dan
keputusan yang diambil oleh otoritas, juga memiliki akuntabilitas mereka
sendiri dan kepercayaan publik dan memelihara. Pejabat di tingkat yang berbeda
seperti strategi, perencanaan, kinerja, proses, komitmen dan legitimasi harus
bertanggung jawab dan bagaimana orang dapat memiliki lebih banyak akses ke
informasi dan keputusan-keputusan yang diadopsi dalam lima tingkat bermain, ada
transparansi dan karena pejabat tahu jika perilaku orang-orang berada di bawah
kaca pembesar, akan mencoba untuk menjawab.
Implementasi
Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah
berjalan hampir empat tahun, perkembangan dan pergerakan didalamya cukup dinamis.
Ditingkat dunia, kata Ismail Cawidu (SESDITJEN Informasi dan Komunikasi Publik
Kementrian Kominfo), dari 177 negara, Indonesia menjadi negara ke-64 yang
memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan di tingkat
ASEAN, Indonesia menjadi pelopor. Selain Indonesia, untuk tingkat ASEAN,
Thailand juga telah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik
sedangkan Filipina soal keterbukaan informasi publik, diatur melalui beberapa
Undang-Undang. Ismail Cawidu menegaskan bahwa UU Keterbukaan Informasi Publik
mewajibkan setiap badan publik menyampaikan dan mengumumkan kepada publik
mengenai laporan keuangan danprogram kerjanya
(IndonesiaRayaNews.com diakses pada 2 April 2014).
Dalam
menyediakan informasi substansial dalam dokumen penganggaran publik di Asia
Tenggara pada tahun 2012, Indonesia berada pada posisi pertama dengan skor
indeks keterbukaan anggaran 62 dari 100. Skor Indonesia menunjukan pemerintah
menyediakan kepada publik informasi penting pada anggaran pemerintah nasional
dan aktivitas keuangan selama tahun penganggaran. Ini membuka ruang bagi
masyarakat untuk meminta akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan keuangan
publik.
Penelitian
lain tentang transparansi anggaran dilakukan oleh Kusuma (2012) dengan judul
penelitian penggunaan prinsip good governance dalam pelaksanaan
anggaran belanja pemerintah pusat. Transparansi anggaran merupakan salah satu
konsep dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yan baik (good
governance). Dalam penelitian ini prinsip good governance telah
diterapkan dalam pelaksanaan anggaran belanja pemerintah pusat yang diatur di
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam aspek hukum, transparansi
dalam pengelolaan keuangan Negara telah dimasukkan dalam UUD 1945 pasal 23 ayat
1. Hambatan dalam pelaksanaan prinsip transparansi anggaran dalam pengelolaan
keuangan masih menemui hambatan, khususnya dalam hal perencanaan dalam internal
organisasi.
Penelitian
lain yang membahas transparansi anggaran dilakukan oleh Stein Kristiansen, Agus
Dwiyanto, Agus Pramusinto, dan Erwan Agus Putranto (2009). Penelitian itu
dipublikasikan melalui jurnal ilmiah yang berjudul ” Public Sector Reforms
and Financial Transparency: Experiences from Indonesian District” (ISEAS,
Vol. 31 No. 1, 2009) . Penelitian ini dilakukan pada tiga daerah yang mewakili
masing-masing wilayah. Wilayah Indonesia barat diwakili oleh D.I Yogyakarta,
Indonesia bagian tengah diwakili oleh Nusa Tenggara Barat, sedangkan penelitian
yang dilakukan di wilayah Indonesia bagin timur adalah Gorontalo. Penelitian
ini melibatkan pemerintah, Non Government Organization (NGO), serta
masyarakat sipil yang menjadi informan dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif.
Hasilnya, rincian anggaran
tidak tersedia di kabupaten yang diteliti dalam penelitian tersebut . Pemegang
kekuasaan biasanya berpendapat bahwa masyarakat umum tidak memiliki kompetensi
atau kemampuan untuk memahami anggaran kabupaten.
B. Politik Anggaran Daerah
Upaya
untuk mengatur kembali sistem kewenangan politik maupun manajemen keuangan
negara secara nasional itu belumsepenuhnya mencapai hasil yang memuaskan.
Jalin-menjalin antara kepentingan politik dengan intervensi terhadap kebijakan
anggaran telah menghasilkan sistem korupsi politik yang menggerogoti anggaran
publik. Korupsi tetap merupakan penyakit kronis yang menghinggapi para tokoh
politik maupun pejabat yang bertugas mengelola anggaran publik di tingkat pusat
maupun daerah. Kendatipun begitu banyak inisiatif kebijakan telah dilaksanakan
untuk memberantas korupsi dan masyarakat sudah seringkali memperlihatkan rasa
muak terhadap para koruptor, tingkat integritas aparat pemerintah masih tetap
buruk.
Dengan
terungkapnya beberapa kasus besar korupsi oleh KPK, nilai integritas itu memang
sedikit membaik. Tetapi perbaikan itu tetap tidak terlalu signifikan. Menurut
Transparency International, pada tahun 2008 Indonesiamenempati peringkat 126,
dan pada tahun 2009 peringkatnya menjadi 111dari 180 negara di dunia yang
disurvai. Tidak mengejutkan bahwa proses kebijakan publik di daerah belum mampu
menjawab tuntutan dari rakyat banyak. Ketika pasangan calon terpilih untuk
menjalankan pemerintahan, mereka akan selalu menanggung beban di punggungnya
karena harus melayani elit Parpol yang telah membantu mereka meraih jabatan.
Pada saat yang sama, pelaku usaha dan elit politik yang telah
"menanam" sumbangan kepada bupati atau walikota terpilih akanselalu menagih
imbalan ketika mereka membuat keputusan penting.
Para
tokoh bupati atau walikota yang menjabat sekarang ini juga banyak dicurigai
telah menggunakan dana APBD untuk kepentingan politik memenangi Pilkada bagi
jabatan berikutnya. Sekarang ini terdapat kecenderungan bahwa para pejabat
petahana (incumbent) selalu punya peluang lebih besar untuk memenangi Pilkada.4
Dengan asumsi yang mudah tentu bisa dijawab karena para tokoh pejabat itu
relatif sudah dikenal dan program-program yang telah dijalankan sebelumnya sudah
dapat dirasakan oleh rakyat. Tetapi yang perlu dilacak ialah apakah akses para
pejabat petahana kepada anggaran publik (APBD) bukan justru merupakan faktor
yang paling menentukan. Bukan rahasia lagi bahwa beberapa pos alokasi belanja
APBD memang masih tergantung kepada diskresi Gubernur atau Bupati. Alokasi dana
yang dimaksud adalah yang termasuk dalam pos belanja Bantuan Sosial atau
Belanja Tak Terduga. Sebagian aparat memasukkan pos belanja itu sebagai dana
taktis Kepala Daerah. Inilah yang sering dikeluhkan oleh para calon baru,
sehingga ada yang mengibaratkan bahwa "Calon baru hanya kampanye selama
sebulan, calon incumbent kampanye sepanjang tahun". Lalu, dana
insidentil APBD yang rentan terhadap nuansa kampanye karena dialokasikan pada
masa-masa Pilkada adalah Alokasi Dana Desa (ADD), dana RT/RW, dan berbagai
bentuk sumbangan di tingkat desa. Dengan demikian, karena ajang Pilkada rentan
terhadap penyimpangan dana APBD, maka banyak alokasi anggaran yang sesungguhnya
tidak langsung terkait dengan kebutuhan rakyat yang mendasar.
C. Masalah Prioritas Belanja dan
SILPA
Sulit
untuk menentukan berapa besar sebenarnya alokasi belanja publik yang ideal di
dalam APBD mengingat kompleksitas masalah pembangunan daerah, karakteristik
daerah, serta celah fiskal (fiscal gap) antara kemampuan dana dan kebutuhan
pembangunan di daerah yangberbeda-beda.
Dengan
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001, komitmenPemda yang
ditunjukkan dalam proporsi APBD pada umumnya masih sangatrendah. Data dari
Departemen Keuangan menunjukkan bahwa sebagianbesar APBD masih tersedot untuk
belanja aparatur yang rerata nasionalnyamencapai 69 persen. Dengan demikian
proporsi anggaran yang dibelanjakanlangsung untuk rakyat masih sedikit. Lebih
lanjut, dari proporsi yangdibelanjakan langsung untuk publik, belanja pelayanan
dasar di seluruhdaerah hanya 9,5 persen dari APBD.
Dalam
halpengadaan barang dan jasa, misalnya, kini terjadi banyak kemacetan
karenapara pejabat atau pegawai daerah tidak ingin terkena delik korupsi
karenamelanggar ketentuan dalam Keppres No.80/2003. Sebermula, Keppres
inidimaksudkan untuk menyempurnakan sistem pengadaan barang dan jasa\ yang
modern sehingga semua prosedurnya didasarkan pada sistem imbalan(merit system)
yang baik dan korupsi dapat ditanggulangi.Namun belakangan ini ketentuan dalam
Keppres 80/2003mengakibatkan ketakutan yang berlebihan diantara para pejabat di
tingkatpusat maupun daerah. Salah satu kasus yang mencuat di tingkat pusat
terkaitpengadaan barang adalah yang terungkap pada tahun 2005 ketika Yusril
IhzaMahendra, ketika itu Menteri Hukum dan Perundang-undangan, dipanggiloleh
KPK karena keterlibatannya dalam pengadaan AFIS (AutomatedFingerprint
Identification System) seharga Rp 18,48 miliar. Kasus ini begituluas diliput di
media dan akhirnya presiden SBY memecat Yusril darijabatannya sebagai
menteri.5Di tingkat daerah, para pejabat yang ditunjuk sebagai PPK
(PejabatPembuat Komitmen) sering melihat bahwa insentif sebagai pelaksana
proyektidak sebanding dengan risiko terjerat pasal korupsi karena
kesalahanprosedur. Banyak yang mengambil tugas PPK dengan rasa
khawatirberlebihan atau bahkan sama sekali tidak mau terlibat dalam pengadaan
"kelemahan dalam sistem pengadaan dan pengawasan yang ketat karenagerakan
anti-korupsi mengakibatkan para pejabat Pemda khawatir untukmenjadi pelaksana
anggaran".6 Sistem pengadaan modern yang diatur dalamKeppres No.80/2003
mengharuskan para pegawai untuk menguasai berbagaibentuk kontrak hukum dan
prosedur kompleks tentang pengadaan. Namun,dalam tugas mereka yang nilainya
miliaran rupiah itu, mereka hanyamemperoleh insentif sekitar Rp 400 ribu.
Itulah sebabnya semakin banyakpegawai yang tidak tertarik untuk mengemban tugas
dalam pengadaan.
Pelaksanaan
proyek di tingkat daerah mengalami pelambatansignifikan. Banyak dana yang
kemudian tidak bisa dicairkan dan tetap beradadalam kas pemerintah daerah yang
menjadi SILPA (Sisa Lebih PenggunaanAnggaran). Kementerian Keuangan pada tahun
2009 melaporkan bahwa dariRp 292,4 triliun anggaran tahun sebelumnya, ternyata
hanya 95 persen yangdapat dibelanjakan. Pada tahun anggaran tersebut, ada Rp
49,1 triliun danapemerintah kabupaten/kota mengalami kemacetan dalam bentuk
SILPA.Fakta ini tentu merupakan persoalan besar mengingat bahwa dengankebijakan
desentralisasi kini lebih banyak dana yang dialokasikan di tingkatdaerah.
Kenyataan
tentang begitu banyaknya dana yang mandeg di tingkatdaerah itu cukup
mengkhawatirkan. Masalah SILPA di daerah terus meningkat sedangkan banyakPemda
lebih tertarik kepada keuntungan dari suku-bunga ketimbang dampakriil anggaran
publik terhadap ekonomi daerah, deposit dana Pemda dalambentuk SBI terus saja
meningkat.
D. Pandangan tentang
tata kelola sektor publik dan akuntabilitas
Tata Kelola dan accountability
Governance 'telah menjadi salah satu buzz-kata dalam ilmu-ilmu sosial modern.
Dalam kebanyakan pengertian umum penawaran governance dengan kemudi dan
koordinasi berbagai aktor, sering dalam pola jaringan-jenis kolaborasi (lihat
karya-karya klasik di pemerintahan, misalnya Rhodes, 1997 atau Kooiman, 2003).
Meskipun ada juga kasus '' pemerintahan tanpa pemerintah ', biasanya struktur
tata kelola berisi setidaknya satu instansi pemerintah. Governance merupakan
istilah umum yang mencakup makna yang berbeda dan persepsi dan secara luas
digunakan dalam ilmu politik serta di bidang ekonomi dan manajemen. Meskipun
pemerintahan juga mencakup bentuk hirarkis steering ( '' pemerintah ''),
biasanya berhubungan dengan mode pemerintahan lainnya, terutama pasar atau
jaringan (Bevir, 2009).
Untuk
menunjukkan masalah kontrol dalam konteks korporasi istilah '' tata kelola
perusahaan '' didirikan. tata kelola perusahaan dapat didefinisikan sebagai
konsep struktur, aturan, prosedur dan mekanisme untuk kemudi yang tepat dan
pengendalian perusahaan (Colley et al, 2005;. OECD, 2004). Di sektor swasta
tata kelola perusahaan adalah istilah umum untuk semua aspek kekuatan dan
kompetensi dalam hubungan antara unit-unit organisasi yang berbeda dan antara
organisasi dan berbagai pemangku kepentingan (terutama: pemegang saham). Dalam
kasus yang sering pemisahan antara kepemilikan dan manajemen, konsep corporate
governance memastikan pengaruh pemilik bisnis pada manajemen. Sebagian besar
aspek tata kelola perusahaan perusahaan yang diatur dalam hukum perusahaan;
biasanya sesuai dengan status hukum perusahaan. Aspek-aspek lain yang
dilindungi oleh hukum lunak, misalnya Kode tata kelola perusahaan.
Sektor publik tugas kekhawatiran
pemerintahan akuntabilitas dalam kaitannya dengan tujuan khusus dari sektor
ini, yang tidak terbatas pada pemberian layanan (misalnya biaya dan kualitas
layanan) tetapi juga termasuk dampak dari kebijakan komunitas atau masyarakat
luas (misalnya kebijakan hasil atau nilai uang pajak). Governance meliputi
berbagai jenis mekanisme, terutama struktur yang memperjelas tanggung jawab
berbagai pemangku kepentingan dalam hal organisasi, pendekatan asuh bahwa
kemampuan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, dan alat-alat seperti sistem
pengendalian internal dan akuntabilitas eksternal. Dalam tinjauan historis
tentang konsep governance, Goddard (. 2005, hal 195) membedakan setidaknya tiga
dimensi pemerintahan: kesesuaian, kinerja dan struktur. Mekanisme tata kelola
yang ditunjukkan di atas juga dapat diamati dalam kode etik bagi pemerintahan
yang baik di sektor publik (bandingkan, misalnya: Komisi Independen Good
Governance di Layanan Publik, 2004). Jika kita ingin memahami mekanisme
akuntabilitas, kita harus mempertimbangkan mereka dalam konteks pemerintahan
seperti yang ditunjukkan di sini. Akuntabilitas dapat memiliki arti yang
berbeda. Pada dasarnya, itu mengacu pada pemberian dan menuntut untuk melakukan
yang baik, tetapi beberapa penulis (Smyth, 2012, hlm. 231-232) lebih ketat
dalam arti bahwa mereka menekankan kebutuhan untuk kontrol (sanksi dan reward)
sebagai instrumen untuk memformalkan konsep, karena kalau tidak akan hanya
terkait dengan answerability dan transparansi.
E. Teori
Dana dan Transparansi Keuangan
Transparansi dan akuntabilitas
adalah dua konsep dasar dalam dua dekade terakhir di bidang akuntansi dan
literatur pelaporan keuangan dianggap. Akuntansi dan aspek pelaporan keuangan
teori dalam keterbukaan informasi di satu sisi dan di sisi lain, diperlukan
untuk mencapai dan meningkatkan akuntabilitas publik dan elit masyarakat
bertanggung jawab ini. Menurut Vatter (Vatter, 1974) menggunakan teori
keterbatasan dana dan aset dan kewajiban yang berkaitan dengan bidang tertentu
atau daerah operasi dan mengidentifikasi bidang akuntansi dan pembuatan laporan
keuangan untuk ruang lingkup atau wilayah, transparansi dalam ketentuan
informasi hormat keuangan untuk keadilan dan keadilan untuk semua pemangku
kepentingan informasi. aspek teoritis memainkan peran penting dalam
mempromosikan transparansi informasi keuangan dan realisasi akuntabilitas
keuangan.
F. Penerapan E- Government
Akuntabilitas
merupakan salah satu roh perwujudan good governance. Dwiyanto (2008 : 98)
menjelaskan akuntabilitas sebagai suatu derajat yang menunjukkan besarnya
tanggungjawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah. Masalah yang terjadi di Indonesia
tentang pengelolaan keuangan daerah adalah terkait adanya korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Blondal, Hawkesworth, Hyun (2009:7) dalam jurnal berjudul “Budgeting in
Indonesia” diungkapkan bahwa “Indonesia’s endemic problems
with corruption were also behind the emphasis on detailed inputs
controls. The controls were viewed as forming the basis for accountability for
the use of funds”.
Sehinggadiperlukan
kontrol dan pengawasan terhadap anggaran daerah. Hal ini berpengaruh terhadap
pelaksanaan akuntabilitas oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan daerah.
Akuntabilitas
anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan kabupaten Blitar bukan hanya
dilakukan untuk instansi diatasnya (vertikal) namun juga melaksanakan
pertanggungjawaban secara horizontal. Karena hal ini dapat mempengaruhi
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk mengelola anggaran publik.
Pelaksanaan pertanggungjawaban anggaran di Pemerintahan Kabupaten Blitar
dilaksanakan melalui elektronik. Pemerintah sudah memanfaatkan teknologi
informasi dalam mempertanggungjawaban proses penganggaran kepada masyarakat (e-government).
Pemerintahan
mampu menyelenggarakan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara terbuka,
cepat dan tepat kepada masyarakat melalui website-website yang dimiliki oleh
pemerintah dan SKPD-SKPD. Hal tersebut akan meningkatkan kepuasan terhadap
pelayanan kepada masyarakat. Publikasi dokumen perencanaan sampai dengan
dokumen anggaran pemerintahan akan berdampak pada
penjelasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan dan prioritas anggaran
yang dipilih.Selain itu, e-government tentang pelaksanaan
akuntabilitas anggaran memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam
proses pembangunan dan pemerintahan. Hal karena masyarakat dapat mengevaluasi
kegiatan dan kebijakan anggaran yang dipilih oleh pemerintah yang dibandingkan
dengan proses perencanaan yang melibatkan masyarakat. Karena kontrol
masyarakat yang semakin banyak, akan menyebabkan intensitas penyimpangan
pengelolaan keuangan anggaran semakin berkurang sehingga akan terwujud
pemerintahan yang baik, serta dapat meningkatkan partisipasi masyarakat tentang
penganggaran mulai dari proses perencanaan program sampai proses
penganggarannya.
G. Kesimpulan dan
Rekomendasi
Akuntabilitas
anggaran harus terus ditingkatkan hingga ke tahap penerapan secara substansial.
Hal ini dapat dicapai dengan penciptaan proses perencanaan anggaran yang lebih
terbuka dan partisipatif. Pelibatan masyarakat harus dilakukan pada taraf
mendekatkan kepentingan sektoral dan spasial terkait kebutuhan atas anggaran.
Di sisi yang lain, masyarakat harus dapat terakumulasi kepentingannya
sedemikian rupa dengan model-model pengorganisasian yang terintegrasi dengan
proses perencanaan anggaran.
Penciptaan ruang partisipasi
yang diakui secara kebijakan merupakan kebutuhan mendesak bagiterciptanya
akuntabilitas dan partisipasi substansial terhadap anggaran. Persoalan korupsi
dengansendirinya akan dapat diminimalisir jika tingkat tekanan politik dapat
diimbangi lewat partisipasi aktifwarga di dalam mengontrol dan mengawal
anggaran.
Seorang
sosiolog korupsi, Robert Klitgaard percaya, bahwa korupsi dapat diselesaikan
dengan peningkatanakuntabilitas. Dalam hasil risetnya di banyak negara Asia
Tenggara, terutama di Filipina, Rober Klitgaardsampai pada kesimpulan bahwa
persoalan akuntabilitas publik adalah persoalan utama yang
menyebabkan korupsi
merajalela. Rumusan Klitgaard masih valid dan sangat cocok diterapkan di
negaranegaratransisi demokrasi seperti Indonesia.
Selain rumusan Klitgaard,
langkah-langkah penting dalam penguatan representasi politik di parlemenpusat
dan daerah juga harus diciptakan. Ruang kontrol terhadap wakil rakyat,
mekanismepertanggungjawaban publik atas laku kebijakan politik serta sinergi
dengan wakil rakyat di dalammendorong rumusan anggaran yang lebih solutif atas
permasalahan kemungkinan perlu didorong. Proyekrumah aspirasi harus dapat
diefektifkan hingga dapat berdampak terhadap peran wakil rakyat
dalammempengaruhi kebijakan. Untuk persoalan integritas, mekanisme internal
parlemen dan lembaga penegakhukum perlu terus didorong untuk mengawasi dan
menindak politisi-politisi nakal yang kerap‘mengganggu’ alokasi anggaran hanya
untuk kepentingan segelintir elit politik dan aktor bisnis. Dalam konteks perbaikan pengelolaan keuangan, beberapa
resep sebenarnya telah coba dirumuskanoleh Badan Pemeriksa Keuangan. Perbaikan
ini harus sejalan dengan perubahan sistem administrasikeuangan, mekanisme
tender dan peningkatan kapasitas birokrasi.
Transparansi informasi dan
penyediaan bentuk yang memadai dan sesuai pemahaman dan kepercayaan informasi
yang disajikan oleh media massa. Dengan kata lain, kejujuran dan transparansi
dalam pelaksanaan masyarakat umum menyebabkan kenyataan. Hasil penting dari
transparansi, meningkatkan kualitas keputusan yang diambil, meningkatkan
lingkaran pengambilan keputusan, mengurangi korupsi dan penyalahgunaan posisi
untuk kepentingan pribadi atau partisan dan menginformasikan kepada masyarakat
tentang proses pengambilan keputusan diatur.
Manfaat
praktis dalam penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan sebagai
rekomendasi untuk para stakeholders khususnya pemerintah daerah dalam
menyempurnakan dan meningkatkan kegiatan akuntabilitas dan transparansi sebagai
perwujudan keterbukaan informasi publik sehingga memberikan kemudahan dalam
pelayanan publik dalam perwujudan good governance. Sehingga pemerintah
dapat memperbaiki kualitas pelayanan melalui ruang publik dimana setiap warga
Negara bisa secara bebas dan mandiri mengemukakan masalah dan keluhan
masyarakat terkait kinerja badan publik. Masyarakat juga dapat berfungsi
sebagai pihak pengawas yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam akuntabilitas anggaran.
Dalam
penelitian ini dijelaskan prinsip-prinsip yang diperlukan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik, yaitu akuntabilitas dan transparansi. Keterkaitan
antara akuntabilitas dan transparansi dalam penelitian ini adalah fokus pada
penganggaran, namun dibatasi pada tersedianya informasi tentang anggaran dapat
diakses seluas-luasnya oleh masyarakat, kesesuaian dengan peraturan yang ada,
dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pemerintah dalam penganggaran serta
sejauh mana masyarakat dapat berpartisipasi baik secara langsung maupun secara
tidak langsung dalam penganggaran. Sehingga dibutuhkan unsur atau peran dalam
pelaksanaan good governance.
DAFTAR PUSTAKA
Sa’adah Binti, Akuntabilitas dan Transparansi Anggaran Melalui E-Government
: 2015 Universitas
Airlangga, Surabaya
Saremi Hamid Sdan Shaban Mohammadi, The Relationship between Transparency and Accountability
inPublic Accounting : 2015
Jean Claude, Budgetary
governance and accountability in public sector organizations :An institutional
and critical realism approach, Finland 67 2013
Bordignon M., and E. Minelli, Rules Transparency and
Political Accountability, Journal of Public Economics 80, 2001, 73-98.
Kitgaard R., Controlling Corruption, University of
Colifornia Press, Berkely CA, 1988.
Relly JE, and M. Sabharwal, Perceptions of Transparency of
Government Policymaking: A Cross-National Study, Government Information
Quarterly 26, 2009, 148-157.
The American Heritage College Dictionary, Houghton Mifflin
Har Court (HMH), 4th Edition, April 2007
Vatter William, Fund Teory and Practice, 1974.
Comments
Post a Comment