Skip to main content

Tax Planning PPh Badan (Akuntansi Pajak Rekonsiliasi dan Dasar Hukum)


1.                  Perbedaan Akuntansi & Pajak
Perlakuan antara akuntansi  perpajakan terhadap suatu transaksi bisnis, dapat menimbulkan perbedaan dalam menentukan jumlah pajak yang terutang. Hal ini disebabkan perbedaan prinsip yang digunakan dalam mencatat atau melaporkan penghasilan. Perbedaan antara prinsip akuntansi dan prinsip pajak digolongkan menjadi dua:
      Beda Tetap
Perbedaan pengakuan suatu penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan dengan prinsip akuntansi yang sifatnya permanen.Beda tetap tidak memiliki dampak terhadap laporan keuangan.
Beda tetap adalah suatu jumlah yang tidak diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menghitung penghasilan kena pajak. Beda tetap tersebut meliputi secara akuntansi merupakan penghasilan, namun bukan merupakan objek PPh atau telah dikenakan PPh yang bersifat final. Sebaliknya, secara akuntansi bukan merupakan penghasilan tetapi merupakan objek pajak menurut UU Pajak Penghasilan. Demikian juga, secara akuntansi bisa dibebankan sebagai biaya tetapi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak, dan sebaliknya.

 Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :
·         Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
·         Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
o    Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
o    Penghasilan berupa hadiah undian
o    Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau  bangunan,
o    Penghasilan dari  usaha jasa konstruksi dan
o    Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
o    dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:
·         biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
o    yang bukan objek pajak;
o    yang pengenaan pajaknya bersifat final;
o    yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
·         penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan  dalam bentuk natura dan kenikmatan
·         Pajak Penghasilan
·         sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang  perpajakan.
·         biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh) 
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial  namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun  secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.   
Beda Waktu
Beda waktu adalah perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Beda waktu memiliki dampak terhadap laporan keuangankarena dalam beda waktu terjadi pergeseran pengakuan pendapatan dan beban antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya,jadi ada konsekuensi pajak yang harus diakui dimasa datang.
Perbedaan temporer (Time Difference) adalah perbedaan antara “Accounting Base” yaitu nilai buku atau nilai tercatat aktiva dan kewajiban menurut akuntansi dengan “Tax Base” yaitu nilai buku fiskal yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak (rugi fiskal) yang dilaporkan dalam SPT PPh Badan. Perbedaan ini muncul akibat beda metode antara akuntansi dan PPh, yang terdiri dari: penyusutan, sewa guna usaha dengan hak opsi, penyisihan kerugian piutang, penyisihan potongan penjualan, perbedaan metode penilaian persediaan (akuntansi diperkenankan menggunakan LIFO namun tidak dibenarkan untuk PPh), penilaian persediaan berdasarkan ‘harga pokok dan harga pasar mana yang lebih rendah’, penggabungan, peleburan, pemekaran berdasarkan nilai buku dan harga pasar, investasi saham berdasarkan ‘cost method’ dan ‘equity method’.
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan  laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :
  • Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
  • Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
  • Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
  • Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.

A.    METODE PENCATATAN
·         Akuntansi
Secara umum terdapat dua jenis metode pencatatan akuntansi :
o   Cash Basis.
Pencatatan basis kas adalah teknik pencatatan ketika transaksi terjadi dimana uang benar-benar diterima atau dikeluarkan. Dengan kata lain Akuntansi  Cash Basis adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar yang digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Cash Basis akan mencatat kegiatan keuangan saat kas atau uang telah diterima misalkan perusahaan menjual produknya akan tetapi uang pembayaran belum diterima maka pencatatan pendapatan penjualan produk tersebut tidak dilakukan, jika kas telah diterima maka transaksi tersebut baru akan dicatat seperti halnya dengan “dasar akrual” hal ini berlaku untuk semua transaksi yang dilakukan, kedua teknik tersebut akan sangat berpengaruh terhadap laporan keuangan, jika menggunakan dasar akrual maka penjualan produk perusahaan yang dilakukan secara kredit akan menambah piutang dagang sehingga berpengaruh pada besarnya piutang dagang sebaliknya jika yang di pakai cash basis maka piutang dagang akan dilaporkan lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi.

o   Accrual Basis.
Basis Akrual (Accrual Basis) Teknik basis akrual memiliki fitur pencatatan dimana transaksi sudah dapat dicatat karena transaksi tersebut memiliki implikasi uang masuk atau keluar di masa depan. Transaksi dicatat pada saat terjadinya walaupun uang belum benar – benar diterima atau dikeluarkan.
Dengan kata lain basis akrual digunakan untuk pengukuran aset, kewajiban dan ekuitas dana. Jadi Basis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.
Metode mana yang dipilih akan menentukan suatu perusahaan dalam melakukan pencatatan transaksi dalam menjalankan bisnisnya. Perbedaan dari metode tersebut diatas adalah terletak pada saat pencatatan kas masuk dan kas keluar.
Dalam metode cash basis, pendapatan diakui ketika cash diterima sedangkan beban diakui pada saat cash dibayarkan, artinya perusahaan mencatat beban didalam transaksi jurnal entry ketika kas dikeluarkan atau dibayarkan dan pendapatan dicatat ketika kas masuk atau diterima.
Berikut ini adalah ilustrasi sederhana:
PT. A menyelesaikan suatu proyek pada tanggal 31 desember 2006, tetapi PT. A menerima pembayaran pada tanggal 7 Januari 2007 atas jasa yang telah dilakukan. Akuntan lalu mencatat pendapatan kas tersebut dibulan januari tahun 2007(pada saat kas diterima) bukan pada tanggal 31 desember 2006 saat proyek selesai dikerjakan.


Sedangkan dalam metode accrual basis pendapatan diakui pada saat:
1.       Produk terkirim atau jasa telah dilakukan.
2.   Cash diterima.
3.   Cash akan diterima pada masa yang akan datang.
Beban dalam metode accrual basis diakui pada saat pendapatan diakui. berdasarkan ilustrasi diatas bila metode pencatatan yang digunakan adalah metode accrual basis pencatatan pendapatan dilakukan pada bulan desember 2006, pada saat pada saat proyek selesai dikerjakan bukan pada saat kas diterima begitu pula dengan pencatatan beban perusahan. Mengacu pada PSAK yang berlaku umum di Indonesia, perusahaan harus melakukan pencatatan menggunakan metode accrual basis. Secara umum laporan keuangan yang ada di Indonesia di catat berdasarkan metode accrual basis.

·         Perpajakan
Pada pasal 28 ayat (5) KUP; pembukuan perpajakan diselenggarakan dengan stelsel accrual atau stelsel kas.
Dasar kas yang digunakan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah dasra kas campuran bahkan mendekati dasar accrual, penjelasan Pasal 28 ayat (5) KUP :
a.       Penjualan meliputi seluruh penjualan baik yang tunai maupun yang bukan tunai (kredit), hal ini sama dengan dasar accrual.
b.      Harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian ( tunai atau kredit ) dan persediaan ( awal dan akhir ), hal ini sama dengan accrual.
c.       Harta yang dapat disusutkan dan hak – hak yang dapat diamortisasi, pembebanannya tidak boleh sekaligus tapi harus dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi; hal ini sama dengan metode accrual.
d.      Pasal 6 UU.PPh – 1984, dalam menentukan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto tidak dibedakan antara dasar accrual dan dasar kas.
e.       KEP – 273/PJ/1998; diganti KEP.184/PJ/2002 mulai berlaku 2001. Penghasilan bunga yang bersumber dari kredit non performing ( kurang lancar, diragukan dan macet ) diakui sebagai penghasilan pada saat bunga tersebut diterima bank (dasar kas) , hal ini sama dengan PSAK No. 13 butir 02.


B.    METODE PENILAIAN PERSEDIAAN
Akuntansi
1.      Metode LIFO (Last in-First out)
LIFO (last in first out) yang berarti masuk terakhir keluar pertama. Mengasumsikan unit persediaan yang dibeli pertama akan dikeluarkan dikemudian hari. Artinya unit yang pertama kali dicatat saat penjualan adalah unit yang terakhir kali masuk. Metode ini bisa menghemat pajak saat inflasi karena hanya menghasilkan laba yang kecil. Karena harga beli terakhie dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga. Namun metode ini tidak bisa digunakan pada saat ini.karena berdasarkan PSAK 14 tidak memperbolehkan perusahaan menggunakan metode ini.
Kelebihan:
ü  Bisa menghemat pajak ketika inflasi
Kelemahan:
ü  Metode ini lebih rumit, biaya pembukuan menjadi lebih mahal
ü  Laba rugi yang dihasilkan lebih rendah
2.      Metode FIFO (First In-First Out)
FIFO (first in first out) yang berarti masuk pertama keluar pertama. Mengasumsikan unit persediaan yang pertama masuk akan dijual dan masuk terakhir akan dikeluarkan dikemudian hari. Artinya unit yang pertama kali dicatat saat penjualan adalah unit yang pertama kali masuk. Sangat relevan bila nilai persediaan disajikan dengan menggunakan metode ini karena nilai berdasarkan harga paling terkini.
Kelebihan:
ü  Nilai persediaan disajikan secara relevan di Laporan Posisi Keuangan
ü  Menghasilkan laba yang lebih besar
Kelemahan:
ü  Pajak yang dihasilkan menjadi lebih besar
ü  Laba yang dihasilkan kurang akurat
3.      Metode Average (Rata-Rata)
Rata-rata tertimbang (Average), menghitung biaya perunit yang serupa pada awal periode dan biaya yang dibeli selama suatu periode menggunakan metode ini. Membagi biaya barang yang tersedia untuk dijual dengan unit yang tersedia adalah cara untuk menghitung biaya persediaan maka persediaan akhir dan beban pokok penjualan dapat dihitung dengan harga rata-rata.
Kelebihan dan kelemahan metode berada diantara metode FIFO dan LIFO.

Perpajakan
1.       Metode FIFO  (First in-First Out)
2.       Metode Average (Rata-Rata)

C.   PENGHASILAN & BIAYA
Akuntansi
Penghasilan:
1.      Penghasilan dari usaha.
2.      Penghasilan dari luar usaha.

Perpajakan
Penghasilan :
Ø  Penghasilan yang menjadi objek pajak.
o   Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang :  
1.       Diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Berasal  dari  Indonesia  maupun  dari  luar  Indonesia,Dapat  dipakai  untuk  konsumsi atau untuk   menambah kekayaan Wajib Pajak.
2.       Jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dlm bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
3.       Hadiah dari undian atau pekerjaan/kegiatan dan penghargaan.
4.       Laba usaha.    




o   Keuntungan karena penjualan atau karena pengalih harta termasuk :
1.      Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham/penyertaan modal;
2.      Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya krn pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
3.      Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4.      Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menkeu, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
o   Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
o   Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
o   Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian SHU koperasi.
o   Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
o   Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
o   Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali  sampai dengan jumlah tertentu ditetapkan dengan PP (PP No.130 Tahun 2000).
o   Keuntungan karen selisih kurs mata uang asing, selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, premi asuransi, iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha / pekerjaan bebas, tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Ø  Penghasilan yang bukan objek pajak.
o   Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima Badan Amil zakat yang / lembaga Amil zakat yang dibentuk / disah kan pemerintah dan penerima zakat yang berhak.
o   Harta hibahan dengan syarat tertentu.
o   Warisan.
o   Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
o   Penggantian / imbalan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari WP atau pemerintah.
o   Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan / kecelakaan / jiwa / dwiguna dan bea siswa.
o   Dividen / bagian laba yang diterima / diperoleh PT sebagai dengan nama koperasi, BUMN/ BUMD , dari penyertaan modal pada Badan Usaha yang didirikan / bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan kepemilikan pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.
o   Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu.
o   Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disyahkan oleh Menkeu dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan dengan KMK.
o   Bagian laba yang diterima / diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi.
o   Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian / pemberian ijin usaha.

Ø  Penghasilan dikenakan bersifat final.
o   Bunga deposito/ tabungan, diskonto SBI.
o   Jual Beli saham di Bursa.
o   Hadiah / Undian.
o   Sewa bangunan / tanah.
o   Pelayaran dalam negeri.
o   Pelayaran dan penerbangan Luar negeri.
o   Kantor perwakilan dagang asing di Indonesia.
o   Pengalihan tanah dan / atau Bangunan.

Ø  Biaya :
Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense). Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak kecuali biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan secara final, termasuk :
1.      Biaya bahan baku/pembantu,
2.      Biaya tenaga kerja
3.      Biaya penyusutan fiskal dan/atau amortisasi 
4.      Iuran  kepada dana pensiun yg pendiriannya  telah disahkan oleh Menteri Keuangan
5.      Kerugian karena penjualan atau pengalihan  harta
6.      Kerugian dari selisih kurs    
7.      Biaya  penelitian  dan pengembangan perusahaan yang dilakukan  di Indonesia  
8.      Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
9.      Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang memenuhi syarat tertentu dengan Keputusan Dirjen Pajak.
10.  Penggantian pengobatan.
11.  Bonus atas Prestasi Kerja.

Biaya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible expense).
1.      Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2.      Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3.      Pembentukan dana cadangan kecuali cadangan untuk jenis usaha tertentu yang ditetapkan keputusan Menteri Keuangan.
4.      Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwi guna, dan asuransi bea siswa yang dibayar oleh WP orang pribadi.
5.      Penggantian / imbalan pekerjaan / jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan KEPMENKEU.
6.      Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau oihak yang mempunyai hubungan istimewa.
7.      Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan.
8.      Pajak penghasilan.
9.      Biaya yang dibebankan / dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungan.
10.  Gaji anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
11.  Sanksi administrasi dan pidana di bidang perpajakan.
12.  Biaya sembako.
13.  Rekreasi, piknik, olah raga.
14.  Biaya pengobatan.
15.  Biaya Perumahan

D.   METODE PENYUSUTAN
Akuntansi
1.       Metode garis lurus (Straight line method),
2.       Metode saldo menurun / saldo menurun ganda (Declining/Double declining Method),
3.       Metode jumlah angka tahun (Sum of years digit method),
4.       Metode jam jasa (Service hours method),
5.       Metode hasil produksi (Productive output method).

Perpajakan
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penyusutan atau deperesiasi merupakan konsep alokasi harga perolehan harta tetap berwujud. Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1.      berwujud yang bukan berupa bangunan.
2.      Harta berwujud yang berupa bangunan.
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
Kelompok 1: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 4 tahun.
Kelompok 2: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 8 tahun.
Kelompok 3: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 16 tahun.
Kelompok 4: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 20 tahun.
Harta terwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
Permanen: masa manfaatnya 20 tahun.
Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.
Metode penyusutan yang dipergunakan adalah
1.      Metode garis lurus (Straight line method)
2.      Metode saldo menurun (Declining balance method)
”Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan. Metode garis lurus diperkenankan dipergunakan untuk semua kelompok harta tetap terwujud. Sedangkan metode saldo menurun hanya diperkenankan digunakan untuk kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.”
Tabel berikut menggambarkan kelompok harta berwujud, metode, serta tarif penyusutannya:
KELOMPOK HARTA BERWUJUD
MASA MANFAAT
TARIF DEPRESIASI
GARIS LURUS
SALDO MENURUN
I.  Bukan Bangunan
Kelompok 1
4 tahun
25%
50%
Kelompok 2
8 tahun
12,5%
25%
Kelompok 3
16 tahun
6,25%
12,5%
Kelompok 4
20 tahun
5%
10%
II.  Bangunan
Permanen
20 tahun
5%
Tidak Permanen
10 tahun
10%

Saat penyusutan dapat dimulai pada:
1.    Bulan dilakukan pengeluaran.
2.    Untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan pengerjaan harta tersebut selesai.
3.    Dengan ijin Direktur Jenderal pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.

Contoh Penghitungan :
PT Agri Jaya pada bulan Juli 2009 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai masa manfaat 4 tahun seharga sebesar Rp 1.000.000. Penghitungan penyusutan atas harta tersebut adalah sebagai berikut:
Alternatif I: Metode Garis Lurus:
Penyusutan tahun 2009: 7/12 x 25%  Rp 1.000.000 = Rp 125.000
Penyusutan tahun 2010: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1011: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1012: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 125.000

Alternatif II: Metode Saldo Menurun:
Penyusutan tahun 2009: 7/12 x 50%  Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 2010: 50% x (Rp 1.000.000 – Rp 250.000) = 50% x Rp 750.000 = Rp 375.000
Penyusutan tahun 2011: 50% x (Rp 750.000 – Rp 375.000) = 50% x Rp 375.000 = Rp 187.500
Penyusutan tahun 2012: 50% x (Rp 375.000 – Rp 187.500) = 50% x Rp 187.500 = Rp 93.750
Penyusutan tahun 2013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 93.750

2. Laba Komersial dan Laba Fiskal
Dalam Pelaporan Keuangan Perusahaan, Khusunya Laporan Laba Rugi, mengenal adanya Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan pengakuan atas pendapatan maupun biaya menurut perusahaan (selaku Wajib Pajak) yang menggunakan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum dengan pihak Ditjen Pajak ( selaku Fiskus yang mewakili negara) sesuai dengan undang-undang perpajakan, dimana ada pendapatan maupun biaya yang di akui sebagai pendapatan maupun biaya oleh perusahaan tetapi tidak di akui oleh ditjen Pajak.
Untuk menghilangkan perbedaan tersebut dilakukan proses penyesuaian atas laba komersil yang berbeda dengan ketentuan fiskal sehingga dihasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang dikenal dengan Rekonsiliasi (koreksi) Fiskal. Perbedaan-perbedaan antara komersil/akuntansi dan fiskal tersebut dapat dikelompokan menjadi beda tetap/permanen (permanent differences) dan beda waktu/sementara (timing differences).

Ada dua macam penyesuaian fiskal, yaitu :

ü  Penyesuaian Fiskal Positif, yaitu penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan terhutang juga meningkat, biasanya dilakukan akibat adanya :
·         Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense)
·         Penyusutan komersil lebih besar dari penyusutan fiskal
·         Amortisasi komersil lebih besar dari amortisasi fiskal.
·         Penyesuaian fiskal positif lainnya.
ü  Penyesuaian Fiskal Negatif, yaitu penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak.
·         Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
·         Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final
·         Penyusutan komersial lebih kecil dari penyusutan fiskal
·         Amortisasi komersil lebih kecil dari amortisasi fiskal
·         Penghasilan yng ditangguhkan pengakuannya
·         Penyesuain fiskal negatif lainnya
Dasar Hukum :
UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, mulai berlaku 1 Januari 2009
Pasal 4 UU PPh No. 36 tahun 2008 mengatur mengenai penghasilan-penghasilan yang termasuk dalam Objek Pajak . Selain mengatur mengenai penghasilan yang termasuk sebagai Objek Pajak, Pasal 4 UU PPh No. 36 tahun 2008 juga mengatur mengenai penghasilan yang dikenakan PPh Final dan tidak termasuk Objek Pajak. Sebelumnya mari kita lihat terlebih dahulu perbedaan Objek Pajak PPh, Objek Pajak Final dan Tidak termasuk Objek Pajak PPh.

1.       Objek Pajak PPh 
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
                                            i.            Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
                                          ii.            penghasilan dari usaha dan kegiatan;
                                        iii.            penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
                                        iv.            penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Penghasilan-penghasilan yang termasuk didalam kategori ini bersifat tidak final. Atas PPh yang telah dibayarkannya dapat dijadikan sebagai kredit pajak atau pengurang pajak pada saat di lakukan perhitungan kembali diakhir tahun pajak (SPT Tahunan Badan/SPT Tahunan OP)

2.       Objek Pajak PPh Final
Penghasilan-penghasilan yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) merupakan objek pajak akan tetapi memperoleh kemudahan-kemudahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
a.       perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
b.      kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
c.       berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
d.      pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
e.       memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sesuai namanya namanya penghasilan-penghasilan yang termasuk didalam kategori ini bersifat final. Atas PPh yang telah dibayarkannya tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak atau pengurang pajak pada saat di lakukan perhitungan kembali diakhir tahun pajak (SPT Tahunan Badan/SPT Tahunan OP)
3.       Tidak termasuk Objek Pajak
Penghasilan-penghasilan yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) bukan merupakan objek pajak sehingga sejak awal diperolehnya penghasilan tidak dikenakan Pajak PPh.

Objek Pajak Penghasilan (pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008)
Adalah yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk:

1.      penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2.      hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3.      laba usaha;
4.      keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a.       keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b.      keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
c.       keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha;
d.      keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e.       keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5.      penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6.      bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7.      dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
8.      royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9.      sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10.  penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11.  keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12.  keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
13.  selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14.  premi asuransi;
15.  iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16.  tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17.  penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18.  imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
19.  surplus Bank Indonesia.

Objek Pajak PPh Final (pasal 4 ayat (2) UU No. 36 tahun 2008)
1.      bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
2.      penghasilan berupa hadiah undian;
3.      penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
4.      penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
5.      penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tidak Termasuk Objek Pajak (pasal 4 ayat (3) UU No. 36 tahun 2008)
1.      Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia;
2.      Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3.      Warisan;
4.      Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5.      Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh;
6.      Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa;
7.      Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a.       dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b.      bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
8.      Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9.      Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10.  Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11.  Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a.       merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
b.      sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12.  Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu:
a.       Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri;
b.      Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa;
c.       Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar;
13.  Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut;
14.  Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Biaya-Biaya Yang Boleh Dikurangkan Dan Yang Tidak Boleh Dikurangkan
A.    Biaya-Biaya Yang Boleh Mengurangi Penghasilan
ü  Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense) dan penghasilan bruto Wajib ajak Orang Pribadi dalam rangka menghitung PPh terutang (Pasal 6 UU PPh) adalah:
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
1.      Biaya pembelian bahan
2.      Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
3.      Bunga, Sewa, dan Royalti 
4.      Biaya perjalanan 
5.      Biaya pengolahan limbah 
6.      Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 
7.      Premi asuransi 
8.      Biaya administrasi 
9.      Pajak, kecuali Pajak Penghasilan
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, rnenagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan yang bukan objek pajak maupun penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final tidak boleh dibebankan sebagai biaya
a.       Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa anfaat lebih dan satu tahun. (akan dibahas dalam Modul PPh Badan) 
b.      luran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan. 
c.       Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. 
d.      Kerugian karena selisWi kurs mata uang asing
e.       Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia. 
f.       Biaya beasiswa, magang dan pelatihan
g.      Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (PMK-57/PMK.03/201 stdtd PMK..
57/PMK.03/2010), dengan syarat: 
o   Telah dibebankan sebagai biaya dalam aporan rugi laba komersial 
o   Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengedilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan hutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. 
o   Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus 
o   Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. 
h.      Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah 
i.        Sumbangan dalam rangka peneiltian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah 
j.        Biaya Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
k.      Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan 
l.        Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah 

ü  Kompensasi kerugian yang diperhitungkan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
ü  Penghasilan Tidak Kena Pajak 
ü  Penyusutan dan Amortisasi, dibahas Iebih lanjut dalam materi PPh Badan
B.     Biaya-Biaya Yang Tidak Diperbolehkan Mengurangi Penghasilan
Untuk menentukan, besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri, Pasal 9 UU PPh mengatur tentang biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari pengahasilan bruto (Non Deductible Expense), yaitu: 
a.       Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali: 
1)      cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutàng
2)      cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial  yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3)      cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Smpanan; 
4)      cadangan biaya rekiamasi untuk usaha pertambangan; 
5)      cadangan biaya penanaman kembali imtuk usaha kehutanan; dan 
6)      cadangan biaya penutupan dan pemeiharaan tempat pembuangan llmbah industri untuk usaha pengolahan Iimbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 
b.      Premi asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa yang dibayar oeh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut  dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. 
c.       Penggantian atau imbalan yang sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. 
d.      Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saharn atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. 
e.       Harta yang dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan, jika memenuhi ketentuan bahwa bagi yang menerimanya bukan objek pajak sesuai Pasat 4 Ayat (3) huruf a :an b UU PPh, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, huruf j, huruf k, huruf I, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil acat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemenntah atau .mbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan.
f.       Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan 
g.      Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang  yang menjadi tanggungannya 
h.      sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan 
i.        Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mernpunyai masa manfaat Iebih dan I (satu) tahun tidak dibolehkan untuk  dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A .
j.         
Transaksi Hubungan Istimewe
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN, Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain. Adapun dijelaskan  pada  Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, ketergantungan atau keterikatan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan usaha, pekerjaan, atau kepemilikan atau penguasaan, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penjelasan terkait Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan adalah sebagai berikut:
1.    Berkenaan dengan usaha
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak. Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
2.                       Berkenaan dengan pekerjaan
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak tersebut.
3.                       Berkenaan kepemilikan atau penyertaan modal
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi apabila terdapat kepemilikan atau penyertaan modal; atau adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Selain itu, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Withholdin tax ini menimbulkan beban pemenuhan kewajiban perpajakan (cost of compliance), yaitu misalnya (1) beban administrasi, (2) beban sanksi administrasi kalau terlambat memotong dan / atau menyetorkan, atau (3) alpa tidak / belum memotong pajaknya pihak lain. Dengan kata lain, dalam sistem withholding ini, wajib pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain (wajib pajak lain) yang mana kewajiban untuk mengadministrasikan pajaknya pihak lain tersebut sebenarnya adalah tanggungjawab pemerintah (dalam hal ini adalah Ditjen pajak).
Mekanisme  Fringe Benefit/Benefit In Kind

Benefit in Kind adalah imbalan berupa barang (tangible asset) seperti beras, gula, parsel, dll. Kenikmatan merupakan imbalan berupa fasilitas atau manfaat langsung yang tidak berupa barang, seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, pajak yang ditanggung atau dibayarkan perusahaan. Istilah


Ada dua perlakuan utama dari aspek perpajakan terhadap natura atau kenikmatan ini yaitu pada umumnya bukan merupakan objek pajak (non-taxable) dan tidak termasuk biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan untuk menghitung pph terutang (non-deductible). Perlakuan ini sesuai dengan prinsip dalam pajak yaitu taxable maka deductible, dan bila nontaxable maka nondeductible.

A) Non-taxable
Berdasarkan pasal 4 ayat 3 UU PPh, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”

B) Non-deductible
Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang PPh menyebutkan : Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Namun, terdapat beberapa pengecualian untuk tujuan tertentu sehingga natura/kenikmatan dapat dikurangkan dalam menghitung Pajak Penghasilan, antara lain:
1. penggantian / imbalan dalam bentuk natura /kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil.
2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya.
3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Pembuatan Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Ketika PKP menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus menerbitkan Faktur Pajak sebagai tanda bukti bahwa dirinya telah memungut pajak dari orang yang telah membeli barang atau jasa kena pajak tersebut.
Faktur pajak merupakan bukti bahwa PKP telah melakukan penyetoran, pemungutan, dan pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Jenis-jenis Faktur Pajak:
  1. Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak saat melakukan penjualan terhadap barang kena pajak, jasa kena pajak, dan atau barang kena pajak yang tergolong dalam barang mewah;
  2. Faktur Pajak Masukan adalah faktur pajak yang didapatkan oleh PKP ketika melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak dari PKP lainnya;
  3. Faktur Pajak Pengganti adalah penggantian atas faktur pajak yang telah terbit sebelumnya dikarenakan ada kesalahan pengisian, kecuali kesalahan pengisian NPWP. Sehingga, harus dilakukan pembetulan agar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
  4. Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak yang dibuat oleh PKP yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli barang kena pajak atau jasa kena pajak yang sama selama satu bulan kalender;
  5. Faktur Pajak Digunggung adalah faktur pajak yang tidak diisi dengan identitas pembeli, nama, dan tandatangan penjual yang hanya boleh dibuat oleh PKP Pedagang Eceran;
  6. Faktur Pajak Cacat adalah faktur pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani termasuk juga kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri. Faktur pajak cacat dapat dibetulkan dengan membuat faktur pjak pengganti;
  7. Faktur Pajak Batal adalah faktur pajak yang dibatalkan dikarenakan adanya pembatalan transaksi. Pembatalan faktur pajak juga harus dilakukan ketika ada kesalahan pengisian NPWP dalam faktur pajak.
PETUNJUK PENGISIAN FAKTUR PAJAK
Description: Petunjuk Pengisian Faktur PajakTahap 1
  • Masukkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang telah didapat dari DJP
  • Masukkan nama, alamat, dan NPWP Perusahaan yang menyerahkan Barang/Jasa Kena Pajak pada kolom Pengusaha Kena Pajak
  • Masukkan nama, alamat, dan NPWP Perusahaan yang membeli atau menerima Barang/Jasa Kena Pajak pada kolom Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak
Tahap 2
  • Masukkan nomor urut sesuai dengan urutan jumlah barang atau jasa kena pajak yang diserahkan (1, 2, 3,...)
  • Masukkan nama barang/jasa kena pajak yang diserahkan
  • Masukkan nominal harga pada kolom Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin (jika nominal bukan dalam satuan rupiah, maka Anda harus memiliki Faktur Pajak khusus untuk nominal selain rupiah, yakni Faktur Pajak Valas)
Tahap 3
  • Total keseluruhan harga ditulis pada kolom Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin
  • Total nilai potongan harga Barang atau Jasa Kena Pajak ditulis (jika ada potongan) ditulis pada kolom Dikurangi Potongan Harga
  • Jika Anda sudah menerima uang muka seusai penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak, maka nominal uang tersebut dapat ditulis pada kolom Nilai Uang Muka yang telah diterima.
  • Jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan Harga dan Uang muka yang telah diterima, kemudian ditulis pada kolom Dasar Pengenaan Pajak
  • Jumlah PPN yang terutang sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak ditulis pada kolom PPN = 10% x Dasar Pengenaan Pajak
  • Pada kolom Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), hanya diisi apabila terjadi penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah. Dapat diisi dengan cara, besar tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak
  • Masukkan Tempat dan Tanggal pada saat membuat Faktur Pajak tersebut
  • Masukkan Nama dan Tanda Tangan dari Nama Pejabat yang telah ditunjuk oleh Perusahaan (harus sesuai dengan Nama Pejabat pada saat Perusahaan resmi menjadi Pengusaha Kena Pajak/PKP)
  • Kini, Anda dapat menggunakan Faktur Pajak tersebut dan segera setor, lapor, dan hitung Pajak Bulanan atau Tahunan Anda dengan OnlinePajak.
Faktur Pajak Elektronik
Berikut beberapa peraturan terkait e-Faktur beserta penjelasannya:
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk Elektronik
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
  • Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur Pajak Berbentuk Elektronik
Investasi Penyertaan Yang Dimiliki
·         Penyertaan modal saham pada PT dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, dividen yang diperolah perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Akan tetapi, apabila modal sahamnya atas nama PT dan atau BUMN/D, sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh, penerimaan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak sepanjang dipenuhi kriteria berikut:
1.      Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
2.      Kepemilikan saham Perseroan Terbatas dan BUMN/D pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, dan
3.      Perseroan Terbatas dan BUMN/D tersebut harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
Syarat yang tercantum di butir a di atas mengandung pengertian bahwa kalau ternyata dividennya tidak dibagikan dari Retained Earning, tapi dari konversi agio saham, dividen tersebut otomatis menjadi objek pajak. Untuk PT dan BUMN/D yang hanya bersifat sebagai investment holding dan memperoleh penghasilan hanya dari dividen anak perusahaan, sesuai dengan persyaratan di atas, dividen tersebut menjadi objek pajak. Agar dividen tersebut diperlakukan sebagai non objek pajak, investment holding company tersebut harus punya usaha aktif secara minimal.
·         Pertimbangan pengenaan PPh atas penghasilan pemilik modal pada reksadana

Optimalisasi Uang Muka Dan Pph 25
·         Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak badan.
PPh Pasal 25=(PPh Terutang-(PPh Pasal 22+PPh Pasal 23+PPh Pasal 24))/12 PPh Terutang = Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak sebelumnya. PPh Pasal 22 = Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain tahun pajak sebelumnya PPh Pasal 23 = Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain tahun pajak sebelumnya PPh Pasal 24 = Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan.
Selain angsuran PPh Pasal 25, PPh yang dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah PPh yang dipotong/pungut pihak lain dan sifat pemotongan/pemungutannya tidak final. Perusahaan seringkali kurang memperoleh informasi mengenai hal ini. PPh yang dapat dikreditkan antara lain:
  1. PPh Pasal 22 atas impor atau pembelian solar dari Pertamina,
  2. PPh Pasal 23 dari bunga non bank, royalti,
  3. PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri, dan
  4. Pembayaran fiskal luar negeri karyawan (setoran a.n karyawan qq. Perusahaan berikut NPWP perusahaan),
  5. STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak) baik telah dibayar maupun belum.
Ketika menyusun rekonsiliasi fiskal, perusahaan harus memperoleh keyakinan yang cukup bahwa pajak yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh pemotong/pemungut pajak ke kas negara. Keyakinan demikian sangat diperlukan karena pada saat pemeriksaan pajak petugas akan menempuh prosedur konfirmasi ke bank tempat pajak yang telah dipotong/dipungut tersebut disetorkan atau ke KPP tempat pemotong/pemungut tersebut melaporkan SPT-nya.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik pemungutan PPh 22 dan/atau pemotongan PPh 23 dengan Uang Muka PPh terkait yang telah dicatat di neraca. Jika timbul selisih, atas selisih tersebut dapat segera ditindaklanjuti dengan cara meminta pihak pemungut/pemotong pajak untuk menyerahkan bukti pemungutan/ pemotongannya.
·         Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh pasal 25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan adanya:
1.      SKPKB PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan
2.      Kenaikan laba pada tahun yang lalu
3.      Kenaikan pada RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D)
Sebagaimana diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, perusahaan dapat menunjukan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat perusahaan terdaftar. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud di atas harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan perusahaan, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan. Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP terdaftar.
Optimalisasi Transaksi Dalam Mata Uang Dolar
Sistem pencatatan selisih kurs dapat dibedakan menjadi kurs tetap dan kurs tengah BI. Bagi WP yang menggunakan kurs tengah BI, atas keuntungan akibat selisih kurs ini diakui, baik keuntungan itu sudah direalisasi maupun belum direalisasi, dan dilakukan secara konsisten. Dengan cara ini maka piutang yang belum direalisai pembayarannya pada akhir tahun, apabila terjadi perubahan nilai kurs maka akan diakui sebagai penghasilan.
Sedangkan bagi WP yang menggunakan kurs tetap, keuntungan yang terjadi atas peerubahan nilai kurs diakui pada saat terjadinya pembayaran berkaitan adanya nilai kurs tersebut. Dengan cara ini maka piutang yang belum terealisasi pembayarannya, apabila terjadi perubahan nilai kurs, maka belum diakui sebagai penghasilan. Untuk menunda pengakuan penghasilan selisih kurs hanya dapat dilakukan pada akhir tahun karena pada prinsipnya pengusaha tidak menghendaki adanya pengunduran pembayaran atas piutang.
Kedua cara tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing, yang dalam hal ini WP harus konsisten memilih salah satu dari kedua cara tersebut. Berkaitan dengan penghasilan yang sudah dikenakan PPh final, maka perubahan nilai kurs yang menyebabkan munculnya keuntungan bagi WP bukan lagi merupakan penghasilan kena pajak, karena sudah dikenakan PPh final.
Optimalisasi Transaksi Khusus Lain
Berdasarkan Surat edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se - 06/Pj.4/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek, yang disebut sebagai transaksi khusus adalah (transfer pricing, grup, sumber daya alam).
Transfer Pricing  didefinisikan sebagai harga yang ditentukan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama. Transfer pricing dapat juga diartikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Dilihat   dari   aspek   perpajakan,   pengertian  transfer   pricing  adalah   harga   yang dibebankan   oleh   suatu   perusahaan   atas   barang,   jasa,   harta   tak   berwujud   kepada perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
Tujuan penetapan  harga transfer  adalah  untuk mentransmisikan  data keuangan  diantara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain. Selain itu  transfer pricing  terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara   keseluruhan.   Namun   dalam   praktik,   seringkali   ditemukan   transaksi   antar anggota perusahaan multinasional yang tidak luput dari rekayasa transfer pricing.
Untuk mencegah praktik penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm's length price), maka Dirjen Pajak menetapkan pedoman penentuan harga transfer yang membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam bertransaksi dengan pihak berelasi (related parties)
Manajemen Restitusi/Pemeriksaan
·         Terkait dengan PPN dan PPn BM. Apakah memang betul kegiatan usaha WP PM > PK.
·         Diteliti. SPT masa PPN/PPn BM telah dimasukkan ke KPP tlh lengkap.
·         Hal hal terpenting dalam restitusi :
1.      Seluruh dokumen telah diteliti
2.      Dipersiapkan pembukuan bila dilakukan pemeriksaan
3.      Faktur pajak masukan kalau bisa telah dikonfirmasikan kepada penjual
4.      Diusahakan secepat mungkin penyelesaiannya untuk membantu likuiditas perusahaan
·         RESTITUSI PPN PER DJP 122/26 YO SE 09/PJ.53/2006 :
1.      Documen pendukung harus lengkap
2.      Sertifikasi dari instansi lain diwajibkan
3.      B/l, asuransi, bank harus dilegalisasi
4.      Penerbitan skp paling lambat : 2 bl, 4 bl dan 12 bl
5.      Pemeriksaan / penelitian dilakukan lebih teliti
6.      Restitusi dibagi yg resiko rendah dan tinggi
7.      Kep 160/2001 dicabut  dan berlaku 15 agustus 2006





Comments