1.
Perbedaan Akuntansi & Pajak
Perlakuan
antara akuntansi perpajakan terhadap suatu transaksi bisnis, dapat
menimbulkan perbedaan dalam menentukan jumlah pajak yang terutang. Hal ini disebabkan
perbedaan prinsip yang digunakan dalam mencatat atau melaporkan penghasilan.
Perbedaan antara prinsip akuntansi dan prinsip pajak digolongkan menjadi dua:
Beda
Tetap
Perbedaan
pengakuan suatu penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang – undangan perpajakan dengan prinsip akuntansi yang sifatnya
permanen.Beda tetap tidak memiliki dampak terhadap laporan keuangan.
Beda
tetap adalah suatu jumlah yang tidak diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak
dalam menghitung penghasilan kena pajak. Beda tetap tersebut meliputi secara
akuntansi merupakan penghasilan, namun bukan merupakan objek PPh atau telah
dikenakan PPh yang bersifat final. Sebaliknya, secara akuntansi bukan merupakan
penghasilan tetapi merupakan objek pajak menurut UU Pajak Penghasilan. Demikian
juga, secara akuntansi bisa dibebankan sebagai biaya tetapi tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak, dan
sebaliknya.
Dalam
hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :
·
Menurut akuntansi komersial
merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan
penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha
Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
·
Menurut akuntansi komersial
merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh
Final, contohnya:
o
Bunga Deposito dan Tabungan
lainnya
o
Penghasilan berupa hadiah undian
o
Penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
o
Penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dan
o
Penghasilan dari persewaan tanah
dan/atau bangunan
o
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU
PPh)
Dalam hal
pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut
akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan
merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:
·
biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan ;
o
yang bukan objek pajak;
o
yang pengenaan pajaknya bersifat
final;
o
yang dikenakan pajak berdasarkan
norma penghitungan penghasilan
·
penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan
·
Pajak Penghasilan
·
sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
·
biaya-biaya lainnya yang menurut
Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi
atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya
penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal
harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah
dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang
akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi
atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang
diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi,
akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan
PPh terutang akan lebih besar.
Beda
Waktu
Beda
waktu adalah perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut
akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Beda waktu memiliki dampak terhadap
laporan keuangankarena dalam beda waktu terjadi pergeseran pengakuan pendapatan
dan beban antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya,jadi ada konsekuensi
pajak yang harus diakui dimasa datang.
Perbedaan
temporer (Time Difference) adalah perbedaan antara “Accounting Base” yaitu
nilai buku atau nilai tercatat aktiva dan kewajiban menurut akuntansi dengan
“Tax Base” yaitu nilai buku fiskal yang digunakan untuk menghitung penghasilan
kena pajak (rugi fiskal) yang dilaporkan dalam SPT PPh Badan. Perbedaan ini
muncul akibat beda metode antara akuntansi dan PPh, yang terdiri dari:
penyusutan, sewa guna usaha dengan hak opsi, penyisihan kerugian piutang,
penyisihan potongan penjualan, perbedaan metode penilaian persediaan (akuntansi
diperkenankan menggunakan LIFO namun tidak dibenarkan untuk PPh), penilaian
persediaan berdasarkan ‘harga pokok dan harga pasar mana yang lebih rendah’,
penggabungan, peleburan, pemekaran berdasarkan nilai buku dan harga pasar,
investasi saham berdasarkan ‘cost method’ dan ‘equity method’.
Beda
Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara
akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara
artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba
kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan
koreksi karena beda waktu terjadi karena :
- Penerimaan penghasilan cash
basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan
tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan
prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh,
penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi
karena beda waktu terjadi karena :
- Perbedaan metode penyusutan,
dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan
hanya metode garis lurus dan saldo menurun
- Perbedaan metode penilaian
persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan
yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
- Penyisihan piutang tak
tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih
tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
Koreksi
atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat
penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun
berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan
bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan
laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan
koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
A.
METODE PENCATATAN
·
Akuntansi
Secara umum terdapat dua jenis
metode pencatatan akuntansi :
o Cash
Basis.
Pencatatan basis kas adalah
teknik pencatatan ketika transaksi terjadi dimana uang benar-benar diterima
atau dikeluarkan. Dengan kata lain Akuntansi Cash Basis adalah basis
akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas
atau setara kas diterima atau dibayar yang digunakan untuk pengakuan
pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Cash Basis akan mencatat kegiatan
keuangan saat kas atau uang telah diterima misalkan perusahaan menjual
produknya akan tetapi uang pembayaran belum diterima maka pencatatan pendapatan
penjualan produk tersebut tidak dilakukan, jika kas telah diterima maka
transaksi tersebut baru akan dicatat seperti halnya dengan “dasar akrual” hal
ini berlaku untuk semua transaksi yang dilakukan, kedua teknik tersebut akan
sangat berpengaruh terhadap laporan keuangan, jika menggunakan dasar akrual
maka penjualan produk perusahaan yang dilakukan secara kredit akan menambah
piutang dagang sehingga berpengaruh pada besarnya piutang dagang
sebaliknya jika yang di pakai cash basis maka piutang dagang akan dilaporkan
lebih rendah dari yang sebenarnya terjadi.
o Accrual
Basis.
Basis Akrual (Accrual Basis)
Teknik basis akrual memiliki fitur pencatatan dimana transaksi sudah dapat
dicatat karena transaksi tersebut memiliki implikasi uang masuk atau keluar di
masa depan. Transaksi dicatat pada saat terjadinya walaupun uang belum benar –
benar diterima atau dikeluarkan.
Dengan kata lain basis akrual
digunakan untuk pengukuran aset, kewajiban dan ekuitas dana. Jadi Basis akrual
adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya
pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi tanpa memperhatikan saat kas atau
setara kas diterima atau dibayar.
Metode mana yang dipilih akan
menentukan suatu perusahaan dalam melakukan pencatatan transaksi dalam
menjalankan bisnisnya. Perbedaan dari metode tersebut diatas adalah terletak
pada saat pencatatan kas masuk dan kas keluar.
Dalam metode cash basis,
pendapatan diakui ketika cash diterima sedangkan beban diakui pada saat cash
dibayarkan, artinya perusahaan mencatat beban didalam transaksi jurnal entry
ketika kas dikeluarkan atau dibayarkan dan pendapatan dicatat ketika kas masuk
atau diterima.
Berikut ini adalah ilustrasi
sederhana:
PT. A menyelesaikan suatu proyek
pada tanggal 31 desember 2006, tetapi PT. A menerima pembayaran pada tanggal 7
Januari 2007 atas jasa yang telah dilakukan. Akuntan lalu mencatat pendapatan
kas tersebut dibulan januari tahun 2007(pada saat kas diterima) bukan pada
tanggal 31 desember 2006 saat proyek selesai dikerjakan.
Sedangkan dalam metode accrual basis pendapatan
diakui pada saat:
1.
Produk terkirim atau jasa telah
dilakukan.
2. Cash diterima.
3. Cash akan diterima pada masa yang akan datang.
Beban dalam metode accrual basis
diakui pada saat pendapatan diakui. berdasarkan ilustrasi diatas bila metode
pencatatan yang digunakan adalah metode accrual basis pencatatan pendapatan
dilakukan pada bulan desember 2006, pada saat pada saat proyek selesai
dikerjakan bukan pada saat kas diterima begitu pula dengan pencatatan beban
perusahan. Mengacu pada PSAK yang berlaku umum di Indonesia, perusahaan harus
melakukan pencatatan menggunakan metode accrual basis. Secara umum laporan
keuangan yang ada di Indonesia di catat berdasarkan metode accrual basis.
·
Perpajakan
Pada pasal 28 ayat (5) KUP;
pembukuan perpajakan diselenggarakan dengan stelsel accrual atau stelsel kas.
Dasar kas yang digunakan dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak adalah dasra kas campuran bahkan mendekati
dasar accrual, penjelasan Pasal 28 ayat (5) KUP :
a. Penjualan
meliputi seluruh penjualan baik yang tunai maupun yang bukan tunai (kredit),
hal ini sama dengan dasar accrual.
b. Harga
pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian ( tunai atau kredit )
dan persediaan ( awal dan akhir ), hal ini sama dengan accrual.
c. Harta
yang dapat disusutkan dan hak – hak yang dapat diamortisasi, pembebanannya
tidak boleh sekaligus tapi harus dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi;
hal ini sama dengan metode accrual.
d. Pasal 6
UU.PPh – 1984, dalam menentukan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto tidak dibedakan antara dasar accrual dan dasar kas.
e. KEP –
273/PJ/1998; diganti KEP.184/PJ/2002 mulai berlaku 2001. Penghasilan bunga yang
bersumber dari kredit non performing ( kurang lancar, diragukan dan macet )
diakui sebagai penghasilan pada saat bunga tersebut diterima bank (dasar kas) ,
hal ini sama dengan PSAK No. 13 butir 02.
B.
METODE PENILAIAN PERSEDIAAN
Akuntansi
1. Metode
LIFO (Last in-First out)
LIFO (last in first out)
yang berarti masuk terakhir keluar pertama. Mengasumsikan unit persediaan yang
dibeli pertama akan dikeluarkan dikemudian hari. Artinya unit yang pertama kali
dicatat saat penjualan adalah unit yang terakhir kali masuk. Metode ini bisa
menghemat pajak saat inflasi karena hanya menghasilkan laba yang kecil. Karena
harga beli terakhie dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga. Namun
metode ini tidak bisa digunakan pada saat ini.karena berdasarkan PSAK 14 tidak
memperbolehkan perusahaan menggunakan metode ini.
Kelebihan:
ü Bisa menghemat pajak ketika inflasi
Kelemahan:
ü Metode ini lebih rumit, biaya pembukuan menjadi lebih mahal
ü Laba rugi yang dihasilkan lebih rendah
2. Metode
FIFO (First In-First Out)
FIFO (first in first out)
yang berarti masuk pertama keluar pertama. Mengasumsikan unit persediaan yang
pertama masuk akan dijual dan masuk terakhir akan dikeluarkan dikemudian hari.
Artinya unit yang pertama kali dicatat saat penjualan adalah unit yang pertama
kali masuk. Sangat relevan bila nilai persediaan disajikan dengan menggunakan
metode ini karena nilai berdasarkan harga paling terkini.
Kelebihan:
ü Nilai persediaan disajikan secara relevan di Laporan Posisi
Keuangan
ü Menghasilkan laba yang lebih besar
Kelemahan:
ü Pajak yang dihasilkan menjadi lebih besar
ü Laba yang dihasilkan kurang akurat
3. Metode
Average (Rata-Rata)
Rata-rata tertimbang (Average),
menghitung biaya perunit yang serupa pada awal periode dan biaya yang dibeli
selama suatu periode menggunakan metode ini. Membagi biaya barang yang tersedia
untuk dijual dengan unit yang tersedia adalah cara untuk menghitung biaya
persediaan maka persediaan akhir dan beban pokok penjualan dapat dihitung
dengan harga rata-rata.
Kelebihan dan kelemahan metode berada diantara metode FIFO
dan LIFO.
Perpajakan
1.
Metode FIFO (First in-First
Out)
2.
Metode Average (Rata-Rata)
C.
PENGHASILAN & BIAYA
Akuntansi
Penghasilan:
1. Penghasilan
dari usaha.
2. Penghasilan
dari luar usaha.
Perpajakan
Penghasilan :
Ø Penghasilan
yang menjadi objek pajak.
o Setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang :
1.
Diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia,Dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak.
2.
Jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dlm bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
3.
Hadiah dari undian atau
pekerjaan/kegiatan dan penghargaan.
4.
Laba
usaha.
o Keuntungan
karena penjualan atau karena pengalih harta termasuk :
1.
Keuntungan karena pengalihan
harta kepada perseroan,persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham/penyertaan modal;
2.
Keuntungan yang diperoleh
perseroan, persekutuan dan badan lainnya krn pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu atau anggota;
3.
Keuntungan karena likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4.
Keuntungan karena pengalihan
harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan
atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menkeu, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
o
Penerimaan kembali pembayaran
pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
o
Bunga termasuk premium, diskonto,
dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
o
Dividen, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian SHU koperasi.
o
Royalti, sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta.
o
Penerimaan atau perolehan
pembayaran berkala.
o
Keuntungan karena pembebasan
utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu ditetapkan dengan PP (PP
No.130 Tahun 2000).
o
Keuntungan karen selisih kurs
mata uang asing, selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, premi asuransi,
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari WP yang menjalankan usaha / pekerjaan bebas,
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
Ø Penghasilan
yang bukan objek pajak.
o Bantuan
atau sumbangan termasuk zakat yang diterima Badan Amil zakat yang / lembaga
Amil zakat yang dibentuk / disah kan pemerintah dan penerima zakat yang berhak.
o Harta
hibahan dengan syarat tertentu.
o Warisan.
o Harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal.
o Penggantian
/ imbalan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari WP atau pemerintah.
o Pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan / kecelakaan / jiwa / dwiguna dan bea siswa.
o Dividen /
bagian laba yang diterima / diperoleh PT sebagai dengan nama koperasi, BUMN/
BUMD , dari penyertaan modal pada Badan Usaha yang didirikan / bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan dan kepemilikan pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar
kepemilikan saham tersebut.
o Iuran
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menkeu.
o Penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disyahkan
oleh Menkeu dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan dengan KMK.
o Bagian
laba yang diterima / diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham – saham persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi.
o Bunga
obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian / pemberian ijin usaha.
Ø Penghasilan
dikenakan bersifat final.
o Bunga deposito/ tabungan, diskonto SBI.
o Jual Beli saham di Bursa.
o Hadiah / Undian.
o Sewa
bangunan / tanah.
o Pelayaran
dalam negeri.
o Pelayaran dan penerbangan Luar negeri.
o Kantor
perwakilan dagang asing di Indonesia.
o Pengalihan tanah dan / atau Bangunan.
Ø Biaya :
Biaya
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense). Biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak
kecuali biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan
secara final, termasuk :
1. Biaya
bahan baku/pembantu,
2. Biaya
tenaga kerja
3. Biaya
penyusutan fiskal dan/atau amortisasi
4. Iuran
kepada dana pensiun yg pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
5. Kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta
6. Kerugian
dari selisih kurs
7. Biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia
8. Biaya bea
siswa, magang, dan pelatihan.
9. Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang memenuhi syarat tertentu dengan
Keputusan Dirjen Pajak.
10. Penggantian
pengobatan.
11. Bonus
atas Prestasi Kerja.
Biaya tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto (non deductible expense).
1. Pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2. Biaya
yang dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3. Pembentukan
dana cadangan kecuali cadangan untuk jenis usaha tertentu yang ditetapkan
keputusan Menteri Keuangan.
4. Premi
asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwi guna, dan asuransi bea siswa yang
dibayar oleh WP orang pribadi.
5. Penggantian
/ imbalan pekerjaan / jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
kecuali yediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai didaerah tertentu dan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan KEPMENKEU.
6. Jumlah
yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau oihak yang
mempunyai hubungan istimewa.
7. Harta
yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan.
8. Pajak
penghasilan.
9. Biaya
yang dibebankan / dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang
menjadi tanggungan.
10. Gaji
anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham.
11. Sanksi
administrasi dan pidana di bidang perpajakan.
12. Biaya
sembako.
13. Rekreasi,
piknik, olah raga.
14. Biaya
pengobatan.
15. Biaya
Perumahan
D.
METODE PENYUSUTAN
Akuntansi
1.
Metode garis lurus (Straight line
method),
2.
Metode saldo menurun / saldo menurun
ganda (Declining/Double declining Method),
3.
Metode jumlah angka tahun (Sum of
years digit method),
4.
Metode jam jasa (Service hours
method),
5.
Metode hasil produksi (Productive
output method).
Perpajakan
Menurut Undang-undang Pajak
Penghasilan, penyusutan atau deperesiasi merupakan konsep alokasi harga perolehan harta tetap berwujud. Untuk
menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1.
berwujud yang bukan berupa
bangunan.
2. Harta
berwujud yang berupa bangunan.
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri
dari empat kelompok, yaitu:
Kelompok
1: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 4 tahun.
Kelompok
2: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 8 tahun.
Kelompok
3: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 16 tahun.
Kelompok
4: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 20 tahun.
Harta
terwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua,
yaitu:
Permanen: masa
manfaatnya 20 tahun.
Tidak
permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari
bahan yang tidak tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan. Masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.
Metode
penyusutan yang dipergunakan adalah
1. Metode
garis lurus (Straight line method)
2. Metode
saldo menurun (Declining balance method)
”Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk
melakukan penyusutan. Metode garis lurus diperkenankan dipergunakan untuk semua
kelompok harta tetap terwujud. Sedangkan metode saldo menurun hanya
diperkenankan digunakan untuk kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.”
Tabel berikut menggambarkan kelompok harta
berwujud, metode, serta tarif penyusutannya:
KELOMPOK HARTA BERWUJUD
|
MASA MANFAAT
|
TARIF DEPRESIASI
|
|
GARIS LURUS
|
SALDO MENURUN
|
||
I. Bukan Bangunan
|
|||
Kelompok 1
|
4 tahun
|
25%
|
50%
|
Kelompok 2
|
8 tahun
|
12,5%
|
25%
|
Kelompok 3
|
16 tahun
|
6,25%
|
12,5%
|
Kelompok 4
|
20 tahun
|
5%
|
10%
|
II. Bangunan
|
|||
Permanen
|
20 tahun
|
5%
|
–
|
Tidak Permanen
|
10 tahun
|
10%
|
–
|
Saat penyusutan dapat dimulai pada:
1. Bulan
dilakukan pengeluaran.
2. Untuk
harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan pengerjaan
harta tersebut selesai.
3.
Dengan ijin Direktur Jenderal
pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta berwujud mulai digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut
mulai menghasilkan.
Contoh Penghitungan :
PT Agri Jaya pada bulan Juli 2009 membeli sebuah alat pertanian yang
mempunyai masa manfaat 4 tahun seharga sebesar Rp 1.000.000. Penghitungan
penyusutan atas harta tersebut adalah sebagai berikut:
Alternatif I: Metode Garis Lurus:
Penyusutan tahun 2009: 7/12 x 25% Rp 1.000.000 = Rp 125.000
Penyusutan tahun 2010: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1011: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1012: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 125.000
Penyusutan tahun 2010: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1011: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1012: 25% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 1013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 125.000
Alternatif II: Metode Saldo Menurun:
Penyusutan tahun 2009: 7/12 x 50% Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 2010: 50% x (Rp 1.000.000 – Rp 250.000) = 50% x Rp 750.000 = Rp 375.000
Penyusutan tahun 2011: 50% x (Rp 750.000 – Rp 375.000) = 50% x Rp 375.000 = Rp 187.500
Penyusutan tahun 2012: 50% x (Rp 375.000 – Rp 187.500) = 50% x Rp 187.500 = Rp 93.750
Penyusutan tahun 2013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 93.750
Penyusutan tahun 2010: 50% x (Rp 1.000.000 – Rp 250.000) = 50% x Rp 750.000 = Rp 375.000
Penyusutan tahun 2011: 50% x (Rp 750.000 – Rp 375.000) = 50% x Rp 375.000 = Rp 187.500
Penyusutan tahun 2012: 50% x (Rp 375.000 – Rp 187.500) = 50% x Rp 187.500 = Rp 93.750
Penyusutan tahun 2013: Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 93.750
2. Laba Komersial dan
Laba Fiskal
Dalam Pelaporan Keuangan
Perusahaan, Khusunya Laporan Laba Rugi, mengenal adanya Laporan Laba
Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal. Perbedaan
tersebut dikarenakan adanya perbedaan pengakuan atas pendapatan maupun biaya
menurut perusahaan (selaku Wajib Pajak) yang menggunakan Prinsip Akuntansi
Berlaku Umum dengan pihak Ditjen Pajak ( selaku Fiskus yang mewakili negara)
sesuai dengan undang-undang perpajakan, dimana ada pendapatan maupun biaya yang
di akui sebagai pendapatan maupun biaya oleh perusahaan tetapi tidak di akui
oleh ditjen Pajak.
Untuk menghilangkan perbedaan
tersebut dilakukan proses penyesuaian atas laba komersil yang berbeda dengan
ketentuan fiskal sehingga dihasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang dikenal dengan Rekonsiliasi (koreksi) Fiskal. Perbedaan-perbedaan
antara komersil/akuntansi dan fiskal tersebut dapat dikelompokan menjadi beda
tetap/permanen (permanent differences) dan beda
waktu/sementara (timing differences).
Ada dua macam penyesuaian fiskal, yaitu :
ü
Penyesuaian Fiskal Positif, yaitu
penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada
akhirnya akan membuat PPh Badan terhutang juga meningkat, biasanya dilakukan
akibat adanya :
·
Penyusutan komersil lebih besar
dari penyusutan fiskal
·
Amortisasi komersil lebih besar
dari amortisasi fiskal.
·
Penyesuaian fiskal positif
lainnya.
ü
Penyesuaian Fiskal Negatif, yaitu
penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak.
·
Penghasilan yang tidak termasuk
objek pajak
·
Penghasilan yang dikenakan PPh
bersifat final
·
Penyusutan komersial lebih kecil
dari penyusutan fiskal
·
Amortisasi komersil lebih kecil
dari amortisasi fiskal
·
Penghasilan yng ditangguhkan
pengakuannya
·
Penyesuain fiskal negatif lainnya
Dasar
Hukum :
UU Nomor
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, mulai berlaku 1 Januari 2009
Pasal 4
UU PPh No. 36 tahun 2008 mengatur mengenai penghasilan-penghasilan yang
termasuk dalam Objek Pajak . Selain mengatur mengenai penghasilan yang termasuk
sebagai Objek Pajak, Pasal 4 UU PPh No. 36 tahun 2008 juga mengatur mengenai
penghasilan yang dikenakan PPh Final dan tidak termasuk Objek Pajak. Sebelumnya
mari kita lihat terlebih dahulu perbedaan Objek Pajak PPh, Objek Pajak Final
dan Tidak termasuk Objek Pajak PPh.
1. Objek
Pajak PPh
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini
tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada
adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik
mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan
ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
i.
Penghasilan dari pekerjaan dalam
hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan
dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
ii.
penghasilan dari usaha dan
kegiatan;
iii.
penghasilan dari modal, yang
berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen,
royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha; dan
iv.
penghasilan lain-lain, seperti
pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat
dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak. Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan
yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar
pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu
usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang
diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan
dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari
objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan
penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Penghasilan-penghasilan yang termasuk didalam
kategori ini bersifat tidak final. Atas PPh yang telah dibayarkannya dapat
dijadikan sebagai kredit pajak atau pengurang pajak pada saat di lakukan perhitungan
kembali diakhir tahun pajak (SPT Tahunan Badan/SPT Tahunan OP)
2. Objek
Pajak PPh Final
Penghasilan-penghasilan yang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) merupakan objek pajak akan
tetapi memperoleh kemudahan-kemudahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
antara lain:
a. perlu
adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
b. kesederhanaan
dalam pemungutan pajak;
c. berkurangnya
beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
d. pemerataan
dalam pengenaan pajaknya; dan
e. memerhatikan
perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut
perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan
pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis
penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sesuai namanya namanya penghasilan-penghasilan yang
termasuk didalam kategori ini bersifat final. Atas PPh yang telah
dibayarkannya tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak atau pengurang pajak
pada saat di lakukan perhitungan kembali diakhir tahun pajak (SPT Tahunan
Badan/SPT Tahunan OP)
3. Tidak
termasuk Objek Pajak
Penghasilan-penghasilan yang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) bukan merupakan objek
pajak sehingga sejak awal diperolehnya penghasilan tidak dikenakan Pajak
PPh.
Objek
Pajak Penghasilan (pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008)
Adalah
yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun termasuk:
1. penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. hadiah
dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3. laba
usaha;
4. keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan
harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
c. keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha;
d. keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
e. keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6. bunga
termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. dividen
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
8. royalty
atau imbalan atas penggunaan hak;
9. sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
11. keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12. keuntungan
karena selisih kurs mata uang asing;
13. selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi
asuransi;
15. iuran yang
diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan
dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan;
19. surplus
Bank Indonesia.
Objek
Pajak PPh Final (pasal 4 ayat (2) UU No. 36 tahun 2008)
1. bunga
deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
2. penghasilan
berupa hadiah undian;
3. penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
4. penghasilan
dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
5. penghasilan
tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Tidak
Termasuk Objek Pajak (pasal 4 ayat (3) UU No. 36 tahun 2008)
1. Bantuan
atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia;
2. Harta
hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3. Warisan;
4. Harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh;
6. Pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi
beasiswa;
7. Dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP
Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a. dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. bagi
perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;
8. Iuran
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. Penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. Penghasilan
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
b. sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12. Beasiswa
yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu:
a. Diterima
atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam
rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam
negeri maupun luar negeri;
b. Tidak
mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau pengurus
dari wajib pajak pemberi beasiswa;
c. Komponen
beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah, biaya ujian,
biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk
pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi
tempat belajar;
13. Sisa
lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya
sisa lebih tersebut;
14. Bantuan
atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Biaya-Biaya
Yang Boleh Dikurangkan Dan Yang Tidak Boleh Dikurangkan
A.
Biaya-Biaya Yang Boleh Mengurangi
Penghasilan
ü
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible
expense) dan penghasilan bruto Wajib ajak Orang Pribadi dalam rangka
menghitung PPh terutang (Pasal 6 UU PPh) adalah:
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk:
1.
Biaya pembelian bahan
2.
Biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa, termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, dan tunjangan yang diberikan
dalam bentuk uang
3.
Bunga, Sewa, dan Royalti
4.
Biaya perjalanan
5.
Biaya pengolahan limbah
6.
Biaya promosi dan penjualan yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
7.
Premi asuransi
8.
Biaya administrasi
9.
Pajak, kecuali Pajak Penghasilan
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut
harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
rnenagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan
demikian, pengeluaran-pengeluaran
untuk mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan yang bukan objek pajak maupun penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
a. Penyusutan
atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa anfaat
lebih dan satu tahun. (akan dibahas dalam Modul PPh Badan)
b. luran
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
c. Kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan.
d. Kerugian
karena selisWi kurs mata uang asing
e. Biaya
penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
f. Biaya
beasiswa, magang dan pelatihan
g. Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (PMK-57/PMK.03/201 0 stdtd
PMK..
57/PMK.03/2010), dengan syarat:
57/PMK.03/2010), dengan syarat:
o
Telah dibebankan sebagai biaya
dalam aporan rugi laba komersial
o
Telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengedilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan hutang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan.
o
Telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum dan khusus
o
Wajib Pajak harus menyerahkan
daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.
h. Sumbangan
dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah
i.
Sumbangan dalam rangka peneiltian
dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah
j.
Biaya Pembangunan infrastruktur
sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
k. Sumbangan
fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
dan
l.
Sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah
ü
Kompensasi kerugian yang
diperhitungkan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
(lima) tahun.
ü
Penghasilan Tidak Kena
Pajak
ü
Penyusutan dan Amortisasi,
dibahas Iebih lanjut dalam materi PPh Badan
B.
Biaya-Biaya Yang Tidak
Diperbolehkan Mengurangi Penghasilan
Untuk
menentukan, besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam negeri, Pasal 9 UU PPh mengatur tentang biaya-biaya yang tidak boleh
dikurangkan dari pengahasilan bruto (Non Deductible Expense), yaitu:
a.
Pembentukan atau pemupukan dana
cadangan, kecuali:
1)
cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha
dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutàng
2)
cadangan untuk usaha asuransi
termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
3)
cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin Smpanan;
4)
cadangan biaya rekiamasi untuk
usaha pertambangan;
5)
cadangan biaya penanaman kembali
imtuk usaha kehutanan; dan
6)
cadangan biaya penutupan dan
pemeiharaan tempat pembuangan llmbah industri untuk usaha pengolahan
Iimbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
b.
Premi asuransi kesehatan,
kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa yang dibayar oeh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung
sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
c.
Penggantian atau imbalan yang
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan.
d.
Jumlah yang melebihi kewajaran
yang dibayarkan kepada pemegang saharn atau kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
e.
Harta yang dihibahkan, bantuan,
sumbangan, dan warisan, jika memenuhi ketentuan bahwa bagi yang menerimanya
bukan objek pajak sesuai Pasat 4 Ayat (3) huruf a :an b UU PPh, kecuali
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, huruf j, huruf
k, huruf I, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil acat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemenntah atau .mbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan.
f.
Pajak Penghasilan yang terutang
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan
g.
Biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya
h.
sanksi administrasi berupa bunga,
denda dan kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
i.
Pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mernpunyai masa manfaat Iebih dan I
(satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 atau Pasal 11A .
j.
Transaksi
Hubungan Istimewe
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh dan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang PPN, Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain. Adapun dijelaskan
pada Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan, ketergantungan atau keterikatan dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung berkenaan dengan usaha, pekerjaan, atau
kepemilikan atau penguasaan, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Penjelasan terkait Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan adalah sebagai
berikut:
1.
Berkenaan dengan usaha
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan
dengan usaha antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima, dapat
terjadi apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah
pihak. Transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak adalah berupa
pembelian, penjualan, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun
2.
Berkenaan dengan pekerjaan
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan
dengan pekerjaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima terjadi
apabila terdapat hubungan yang berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau
pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung antara kedua pihak
tersebut.
3.
Berkenaan kepemilikan atau penyertaan modal
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan
dengan kepemilikan atau penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib
Pajak penerima terjadi apabila terdapat kepemilikan atau penyertaan modal; atau
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. Selain itu,
hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena
adanya hubungan darah atau perkawinan.
Withholdin
tax ini menimbulkan beban pemenuhan kewajiban perpajakan (cost of compliance),
yaitu misalnya (1) beban administrasi, (2) beban sanksi administrasi kalau
terlambat memotong dan / atau menyetorkan, atau (3) alpa tidak / belum memotong
pajaknya pihak lain. Dengan kata lain, dalam sistem withholding ini, wajib
pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain
(wajib pajak lain) yang mana kewajiban untuk mengadministrasikan pajaknya pihak
lain tersebut sebenarnya adalah tanggungjawab pemerintah (dalam hal ini adalah
Ditjen pajak).
Mekanisme Fringe
Benefit/Benefit In Kind
Benefit in Kind adalah imbalan
berupa barang (tangible asset) seperti beras, gula, parsel,
dll. Kenikmatan merupakan imbalan berupa fasilitas atau manfaat langsung yang
tidak berupa barang, seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, pajak yang
ditanggung atau dibayarkan perusahaan. Istilah
Ada dua perlakuan utama dari aspek perpajakan terhadap natura atau
kenikmatan ini yaitu pada umumnya bukan
merupakan objek pajak (non-taxable) dan
tidak termasuk biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan untuk menghitung
pph terutang (non-deductible). Perlakuan ini sesuai dengan prinsip dalam pajak yaitu taxable maka
deductible, dan bila nontaxable maka nondeductible.
A) Non-taxable
Berdasarkan pasal 4 ayat 3
UU PPh, “Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”
B)
Non-deductible
Dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf e Undang-undang PPh menyebutkan : Untuk menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Namun, terdapat
beberapa pengecualian untuk tujuan tertentu sehingga natura/kenikmatan dapat
dikurangkan dalam menghitung Pajak Penghasilan, antara lain:
1. penggantian / imbalan
dalam bentuk natura /kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah
untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil.
2. pemberian natura dan
kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana
keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti
pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan
(Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang
sejenisnya.
3. pemberian atau
penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan.
Pembuatan
Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak PKP yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Ketika PKP
menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus menerbitkan Faktur Pajak
sebagai tanda bukti bahwa dirinya telah memungut pajak dari orang yang telah
membeli barang atau jasa kena pajak tersebut.
Faktur pajak merupakan bukti bahwa PKP telah melakukan
penyetoran, pemungutan, dan pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Jenis-jenis Faktur Pajak:
- Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang
dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak saat melakukan penjualan terhadap barang
kena pajak, jasa kena pajak, dan atau barang kena pajak yang tergolong
dalam barang mewah;
- Faktur Pajak Masukan adalah faktur pajak yang
didapatkan oleh PKP ketika melakukan pembelian terhadap barang kena pajak
atau jasa kena pajak dari PKP lainnya;
- Faktur Pajak Pengganti adalah penggantian atas
faktur pajak yang telah terbit sebelumnya dikarenakan ada kesalahan
pengisian, kecuali kesalahan pengisian NPWP. Sehingga, harus dilakukan
pembetulan agar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
- Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak yang
dibuat oleh PKP yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada
pembeli barang kena pajak atau jasa kena pajak yang sama selama satu bulan
kalender;
- Faktur Pajak Digunggung adalah faktur pajak yang
tidak diisi dengan identitas pembeli, nama, dan tandatangan penjual yang
hanya boleh dibuat oleh PKP Pedagang Eceran;
- Faktur Pajak Cacat adalah faktur pajak yang
tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani
termasuk juga kesalahan dalam pengisian kode dan nomor seri. Faktur pajak
cacat dapat dibetulkan dengan membuat faktur pjak pengganti;
- Faktur Pajak Batal adalah faktur pajak yang
dibatalkan dikarenakan adanya pembatalan transaksi. Pembatalan faktur
pajak juga harus dilakukan ketika ada kesalahan pengisian NPWP dalam
faktur pajak.
PETUNJUK PENGISIAN FAKTUR PAJAK
Tahap 1
- Masukkan Kode dan Nomor
Seri Faktur Pajak yang telah didapat dari DJP
- Masukkan nama, alamat, dan NPWP
Perusahaan yang menyerahkan Barang/Jasa Kena Pajak pada kolom Pengusaha
Kena Pajak
- Masukkan nama, alamat, dan NPWP
Perusahaan yang membeli atau menerima Barang/Jasa Kena Pajak pada kolom
Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak
Tahap 2
- Masukkan nomor urut sesuai
dengan urutan jumlah barang atau jasa kena pajak yang diserahkan (1, 2,
3,...)
- Masukkan nama barang/jasa kena
pajak yang diserahkan
- Masukkan nominal harga pada
kolom Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin (jika nominal bukan dalam
satuan rupiah, maka Anda harus memiliki Faktur Pajak khusus untuk nominal
selain rupiah, yakni Faktur Pajak Valas)
Tahap 3
- Total keseluruhan harga ditulis
pada kolom Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin
- Total nilai potongan harga
Barang atau Jasa Kena Pajak ditulis (jika ada potongan) ditulis pada kolom
Dikurangi Potongan Harga
- Jika Anda sudah menerima uang
muka seusai penyerahan Barang atau Jasa Kena Pajak, maka nominal uang
tersebut dapat ditulis pada kolom Nilai Uang Muka yang telah diterima.
- Jumlah Harga
Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi dengan Potongan Harga dan Uang
muka yang telah diterima, kemudian ditulis pada kolom Dasar Pengenaan
Pajak
- Jumlah PPN yang terutang
sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak ditulis pada kolom PPN = 10% x
Dasar Pengenaan Pajak
- Pada kolom Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM), hanya diisi apabila terjadi penyerahan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah. Dapat diisi dengan cara, besar tarif Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak
- Masukkan Tempat dan Tanggal
pada saat membuat Faktur Pajak tersebut
- Masukkan Nama dan Tanda Tangan
dari Nama Pejabat yang telah ditunjuk oleh Perusahaan (harus sesuai dengan
Nama Pejabat pada saat Perusahaan resmi menjadi Pengusaha Kena Pajak/PKP)
- Kini, Anda dapat menggunakan
Faktur Pajak tersebut dan segera setor, lapor, dan hitung Pajak Bulanan
atau Tahunan Anda dengan OnlinePajak.
Faktur Pajak Elektronik
Berikut
beberapa peraturan terkait e-Faktur beserta penjelasannya:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014
tentang Tata Cara Pembuatan dan Pelaporan Faktur Pajak Berbentuk
Elektronik
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan
Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau
Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014
tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak yang Diwajibkan Membuat Faktur
Pajak Berbentuk Elektronik
Investasi
Penyertaan Yang Dimiliki
·
Penyertaan modal saham pada PT dalam
negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas
nama perorangan, dividen yang diperolah perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal
23. Akan tetapi, apabila modal sahamnya atas nama PT dan atau BUMN/D,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh, penerimaan dividen
tersebut bukan merupakan objek pajak sepanjang dipenuhi kriteria berikut:
1.
Dividen tersebut berasal dari cadangan
laba yang ditahan, dan
2.
Kepemilikan saham Perseroan Terbatas
dan BUMN/D pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah
modal yang disetor, dan
3.
Perseroan Terbatas dan BUMN/D tersebut
harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
Syarat yang
tercantum di butir a di atas mengandung pengertian bahwa kalau ternyata
dividennya tidak dibagikan dari Retained Earning, tapi dari konversi agio
saham, dividen tersebut otomatis menjadi objek pajak. Untuk PT dan BUMN/D yang
hanya bersifat sebagai investment holding dan memperoleh penghasilan hanya dari
dividen anak perusahaan, sesuai dengan persyaratan di atas, dividen tersebut
menjadi objek pajak. Agar dividen tersebut diperlakukan sebagai non objek
pajak, investment holding company tersebut harus punya usaha aktif secara
minimal.
·
Pertimbangan pengenaan PPh atas penghasilan
pemilik modal pada reksadana
Optimalisasi
Uang Muka Dan Pph 25
·
Angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk
setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak badan.
PPh
Pasal 25=(PPh Terutang-(PPh Pasal 22+PPh Pasal 23+PPh Pasal 24))/12 PPh
Terutang = Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak sebelumnya. PPh Pasal 22 = Pajak Penghasilan yang
dipungut oleh pihak lain tahun pajak sebelumnya PPh Pasal 23 = Pajak
Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain tahun pajak sebelumnya PPh Pasal 24 =
Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan.
Selain
angsuran PPh Pasal 25, PPh yang dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang
pada akhir tahun adalah PPh yang dipotong/pungut pihak lain dan sifat
pemotongan/pemungutannya tidak final. Perusahaan seringkali kurang memperoleh
informasi mengenai hal ini. PPh yang dapat dikreditkan antara lain:
- PPh Pasal 22 atas impor atau pembelian solar dari
Pertamina,
- PPh Pasal 23 dari bunga non bank, royalti,
- PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri, dan
- Pembayaran fiskal luar negeri karyawan (setoran a.n
karyawan qq. Perusahaan berikut NPWP perusahaan),
- STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak) baik telah dibayar
maupun belum.
Ketika menyusun rekonsiliasi fiskal,
perusahaan harus memperoleh keyakinan yang cukup bahwa pajak yang
dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh pemotong/pemungut
pajak ke kas negara. Keyakinan demikian sangat diperlukan karena pada saat
pemeriksaan pajak petugas akan menempuh prosedur konfirmasi ke bank tempat
pajak yang telah dipotong/dipungut tersebut disetorkan atau ke KPP tempat
pemotong/pemungut tersebut melaporkan SPT-nya.
Salah satu caranya adalah dengan
melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik pemungutan PPh 22 dan/atau
pemotongan PPh 23 dengan Uang Muka PPh terkait yang telah dicatat di neraca.
Jika timbul selisih, atas selisih tersebut dapat segera ditindaklanjuti dengan
cara meminta pihak pemungut/pemotong pajak untuk menyerahkan bukti pemungutan/
pemotongannya.
·
Mengajukan Permohonan Pengurangan
Pembayaran Angsuran PPh pasal 25
Kenaikan
pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan adanya:
1.
SKPKB PPh Badan tahun sebelumnya yang
terbit pada tahun berjalan
2.
Kenaikan laba pada tahun yang lalu
3. Kenaikan pada
RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D)
Sebagaimana
diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, apabila sesudah 3
bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, perusahaan dapat menunjukan
bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari
PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25,
perusahaan dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara
tertulis kepada Kepala KPP tempat perusahaan terdaftar. Pengajuan permohonan
pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud di atas harus disertai
dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan
penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk
bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam
jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan perusahaan,
Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap diterima
dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan
penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan. Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami
peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan
besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa
dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan
kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP
terdaftar.
Optimalisasi
Transaksi Dalam Mata Uang Dolar
Sistem pencatatan selisih kurs dapat dibedakan menjadi
kurs tetap dan kurs tengah BI. Bagi WP yang menggunakan kurs tengah BI, atas
keuntungan akibat selisih kurs ini diakui, baik keuntungan itu sudah
direalisasi maupun belum direalisasi, dan dilakukan secara konsisten. Dengan
cara ini maka piutang yang belum direalisai pembayarannya pada akhir tahun,
apabila terjadi perubahan nilai kurs maka akan diakui sebagai penghasilan.
Sedangkan bagi WP yang menggunakan kurs tetap, keuntungan
yang terjadi atas peerubahan nilai kurs diakui pada saat terjadinya pembayaran
berkaitan adanya nilai kurs tersebut. Dengan cara ini maka piutang yang belum
terealisasi pembayarannya, apabila terjadi perubahan nilai kurs, maka belum
diakui sebagai penghasilan. Untuk menunda pengakuan penghasilan selisih kurs
hanya dapat dilakukan pada akhir tahun karena pada prinsipnya pengusaha tidak
menghendaki adanya pengunduran pembayaran atas piutang.
Kedua cara tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian
masing-masing, yang dalam hal ini WP harus konsisten memilih salah satu dari
kedua cara tersebut. Berkaitan dengan penghasilan yang sudah dikenakan PPh
final, maka perubahan nilai kurs yang menyebabkan munculnya keuntungan bagi WP
bukan lagi merupakan penghasilan kena pajak, karena sudah dikenakan PPh final.
Optimalisasi
Transaksi Khusus Lain
Berdasarkan Surat edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor Se - 06/Pj.4/1997 tentang Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek, yang disebut sebagai transaksi khusus
adalah (transfer pricing,
grup, sumber daya alam).
Transfer Pricing didefinisikan sebagai harga yang ditentukan
oleh satu bagian dari sebuah organisasi atas penyerahan barang atau jasa yang
dilakukannya kepada bagian lain dari organisasi yang sama. Transfer pricing
dapat juga diartikan sebagai nilai atau harga jual khusus yang dipakai dalam
pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling
division) dan biaya divisi pembeli (buying division). Dilihat dari
aspek perpajakan, pengertian
transfer pricing adalah
harga yang dibebankan oleh
suatu perusahaan atas
barang, jasa, harta
tak berwujud kepada perusahaan yang mempunyai hubungan
istimewa.
Tujuan penetapan harga transfer adalah
untuk mentransmisikan data
keuangan diantara departemen-departemen
atau divisi-divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan
jasa satu sama lain. Selain itu transfer
pricing terkadang digunakan untuk
mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi
pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan
secara keseluruhan. Namun
dalam praktik, seringkali
ditemukan transaksi antar anggota perusahaan multinasional yang
tidak luput dari rekayasa transfer pricing.
Untuk mencegah praktik penghindaran
pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm's length price), maka Dirjen
Pajak menetapkan pedoman penentuan harga transfer yang membahas penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principles) terkait
transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam
bertransaksi dengan pihak berelasi (related parties)
Manajemen
Restitusi/Pemeriksaan
·
Terkait
dengan PPN dan PPn BM. Apakah memang betul kegiatan usaha WP PM > PK.
·
Diteliti. SPT masa PPN/PPn BM telah dimasukkan ke KPP tlh lengkap.
·
Hal hal terpenting dalam restitusi :
1.
Seluruh dokumen telah diteliti
2.
Dipersiapkan pembukuan bila dilakukan pemeriksaan
3.
Faktur pajak masukan kalau bisa telah dikonfirmasikan kepada penjual
4.
Diusahakan secepat mungkin penyelesaiannya untuk membantu likuiditas
perusahaan
·
RESTITUSI PPN PER DJP 122/26 YO SE 09/PJ.53/2006 :
1.
Documen pendukung harus lengkap
2.
Sertifikasi dari instansi lain diwajibkan
3.
B/l, asuransi, bank harus dilegalisasi
4.
Penerbitan skp paling lambat : 2 bl, 4 bl dan 12 bl
5.
Pemeriksaan / penelitian dilakukan lebih teliti
6.
Restitusi dibagi yg resiko rendah dan tinggi
7.
Kep 160/2001 dicabut dan berlaku
15 agustus 2006
Comments
Post a Comment